TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Kasus kematian akibat Covid-19 di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih sangat tinggi.
Berdasarkan data pemerintah, kasus kematian masih di atas 1.000 kasus atau tepatnya 1.579 pada Rabu (11/8/2021).
Dengan tambahan tersebut, total kasus kematian di Indonesia mencapai 112.198 kasus.
Tambahan angka kematian ini menurun dibandingkan hari sebelumnya yang melonjak hingga 2.048 kasus.
Adapun 5 daerah yang berkontribusi paling tinggi dalam penambahan kasus kematian hari ini yakni Jawa Timur 431 kasus, Jawa Tengah 350 kasus, Jawa Barat 120 kasus, Kalimantan Timur 64 kasus, dan Riau 55 kasus.
Baca juga: Update 11 Agustus 2021, Kasus Covid-19 Terus Menurun, Jumlah Korban Meninggal Juga Turun
Sementara itu kasus kematian akibat Covid-19 tertinggi dunia hingga kemarin terjadi di Amerika Serikat 634.662, lalu Brazil 564.890, dan India 429.183 kematian.
Indonesia sendiri berasa di peringkat 11 kasus kematian tertinggi di dunia.
Di tengah masih tingginya angka kematian, pemerintah malah mengeluarkan angka kasus kematian dari indikator penentuan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), dengan alasan ditemukan masalah dalam input data akumulasi dari kasus kematian.
Langkah pemerintah tersebut mendapat kritikan banyak pihak diantaranya epidemiolog dan DPR RI.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Sukamta menyatakan hal ini adalah keputusan yang bisa berbahaya dalam upaya penanganan Covid.
Karena semestinya pemerintah membuat kebijakan berdasarkan data, riset dan pendapat ahli.
"Jika selama ini Pak Luhut menyatakan kebijakan penanganan Covid sudah berdasar masukan para ahli, apakah mengeluarkan angka kasus kematian dari indikator penanganan Covid-19 juga saran dari para ahli? Saya ragu ini adalah saran ahli," kata Sukamta kepada wartawan, Rabu (11/8/2021).
Menurut Sukamta, hal itu hanya akal-akalan pemerintah untuk menutupi sengkarut manajemen data Covid dari pusat hingga daerah.
Sementara pemerintah sudah tidak sabar untuk menurunkan level PPKM karena tuntutan kepentingan ekonomi.
"Beberapa ahli epidemiologi sudah mengingatkan kecerobohan pemerintah dalam penanganan Covid, bisa mengarah kepada pandemic trap atau situasi pandemi yang tidak berkesedahan. Jika ini terjadi, tidak hanya berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia, Indonesia juga akan semakin terpuruk ekonominya," ucapnya.
Di sisi lain Sukamta juga khawatir dikeluarkannya angka kasus kematian dari indikator penanganan Covid-19 merupakan cerminan ada sebagian pejabat pemerintah yang punya pikiran tidak percaya dengan Covid atau Covid ini sebagai konspirasi.
"Kan ada sebagian masyarakat yang terpapar hoaks menganggap Covid itu konspirasi, sehingga takut ke RS nanti dicovidkan. Ada yang menolak anggota keluarganya yang meninggal dinyatakan covid, sehingga terjadi perebutan jenazah di beberapa daerah," ucapnya.
"Jangan-jangan masih ada pejabat pemerintah yang juga tidak percaya Covid. Yang punya pikiran seperti ini mestinya jangan masuk dalam Gugus Tugas Covid, karena akan merusak kerja penanganangan pandemi," lanjutnya.
Menurut Sukamta semestinya pemerintah segera melakukan perbaikan data Covid, bukan malah mengeluarkan salah satu indikator pentingnya.
Karena angka kasus kematian ini adalah adalah indikator utama keselamatan.
Banyaknya kematian bisa menunjukkan adanya kelemahan dan masalah yang harus segera ditangani dan diantisipasi supaya tidak bertambah jumlah kematian.
"Banyak laporan dari lembaga independen yang mengkritisi data pemerintah masih belum mencakup data kondisi riil di lapangan. Saya kira akan lebih baik jika data dikelola secara transparan dan jujur. Karena ini terkait dengan nyawa manusia dan masa depan anak bangsa. Belum ada kata terlambat untuk segera melakukan pembenahan data Covid," pungkasnya.