Tetapi, ia menyebut, dalam pertemuan dan diskusi, pembahasan terkait tes ini berkembang.
Sehingga, diputuskan adanya pasal yang mengatur TWK tersebut.
"Tapi, di dalam pertemuan-pertemuan, dalam diskusi, berkembang, apa iya cukup pernyataan? Ini kan bicaranya bukan bicara pengetahuan atau kesetiaan saja, tapi juga melihat perilakunya seperti apa, keseharian dia seperti apa, nilai-nilai yang ada di dalam manusia itu seperti apa, itu kan juga perlu dites. Oleh sebab itu, pada akhirnya disepakati, ada pasal yang mengatur mengenai perlunya tes wawasan kebangsaan tersebut," ujarnya.
Baca juga: Sama Seperti KPK, BKN Juga Keberatan Atas LAHP Ombudsman soal TWK
Supranawa menyebut pihaknya tidak berfokus pada siapa yang mengusulkan, melainkan pada konteks dan substansi yang dibuat serta berdasarkan kesepakatan seluruh peserta rapat harmonisasi.
"Kita sih tidak concern pada siapa yang mengusulkan, tapi lebih concern pada substansinya. Kalau dalam rapat harmonisasi, kan siapa saja boleh bicara. Tapi masalahnya adalah kontennya, substansinya, materi muatannya, yes or no. Nah kalau semua peserta bilang yes, oke, ya sudah, masuk di dalam rumusan," ujarnya.
Supranawa juga membantah temuan Ombudsman RI (ORI) yang menyatakan ada penyisipan materi dalam pelaksanaan TWK.
Menurut dia, dalam penyusunan, pertemuan, ada dinamika dan diskusi yang terjadi.
"Jadi di dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, itu saya kira nggak ada istilah penyisipan ayat itu. Karena proses penyusunan pengaturan itu pasti banyak dinamikanya, bahkan kalau yang hadir berbeda, pikirannya berbeda, usulannya juga berbeda. Jadi setiap saat pertemuan, bisa saja on-off substansinya. Mungkin substansi yang kemarin nggak masuk, hari ini menjadi masuk, besok menjadi nggak masuk lagi, itu lazim saja di dalam penyusunan peraturan," katanya.