TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Prof Romli Atmasasmita mengkritik hasil temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait adanya maladministrasi dalam proses peralihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Romli menilai hal itu melanggar wewenang lembaga dan dia menyarankan adanya teguran kepada ORI. Romli beralasan ORI telah melakukan tindakan melampaui wewenang.
Prof Romli juga menyarankan agar Presiden tidak perlu menjalankan isi rekomendasi Ombudsman RI.
Dalam rekomendasinya, Ombudsman RI menyarankan Presiden Joko Widodo untuk membina Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, MenkumHAM, dan MenPANRB selaku pelaksana asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Ombudsman RI juga meminta Jokowi mengambil alih kewenangan yang didelegasikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) KPK terkait alih status 75 pegawai menjadi ASN.
"Ombudsman RI tidak ada kewenangan, maka tidak ada gunanya harus diikuti rekomendasinya, Karena legal standingnya pun tidak ada," kritik Prof Romli dalam diskusi publik bertajuk 'Membedah Dinamika KPK; Perspektif Hukum dan Ketatanegaraan' yang diselenggarakan Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK), Jumat (13/8/2021).
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di tempat sama menyatakan keberatan atas tiga hasil temuan pemeriksaan yang dilakukan Ombudsman RI.
Tindakan yang dilakukan ORI, ditegaskan Ghufron, sesungguhnya telah melanggar konstitusi.
Ia menjelaskan pokok perkara yang diperiksa Ombudsman RI merupakan pengujian keabsahan formil pembentukan Perkom KPK nomor 1 tahun 2020 yang merupakan kompetensi absolute Mahkamah Agung (MA) yang sedang dalam proses pemeriksaan.
Baca juga: Sama Seperti KPK, BKN Juga Keberatan Atas LAHP Ombudsman soal TWK
"Keberatan kami adalah, mengenai temuan ORI yang menyebutkan ada penyelewangan prosedur, menurut KPK itu adalah pengujian keabsahan formil. Ini adalah wilayah Mahkamah Agung, jika ini dibiarkan artinya KPK sama dengan membiarkan pelanggaran terhadap konstitusi," kata Ghufron.
Menyinggung pelaksanaan asesmen TWK, Ghufron menegaskan tindakan korektif yang direkomendasikan Ombudsman RI tidak memiliki hubungan sebab akibat bahkan bertentangan dengan kesimpulan dan temuan LHAP.
Ghufron menceritakan kronologis pelaksanaan TWK KPK yang melibatkan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Dijelaskan Ghufron, kompetensi BKN sebaiknya tidak diragukan atau dianggap tidak kompeten.
Baca juga: Polemik TWK Calon Pegawai KPK Berpotensi Ganggu Upaya Pemberantasan Korupsi
Ia menegaskan tindakan BKN sejauh ini sudah menunjukkan sikap sangat profesional serta menjunjung tinggi nilai-nilai integritas.
Menanggapi isi rekomendasi Ombudsman RI tersebut, Badan Kepegawaian Negara (BKN) keberatan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI (ORI) terkait proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui tes wawasan kebangsaan (TWK).
Wakil Kepala BKN Supranawa Yusuf menjelaskan, pihaknya telah melayangkan dokumen penjelasan atas keberatan tersebut kepada Ketua Ombudsman Mokhammad Najih.
Hal itu sebagaimana Peraturan Ombdusman RI Nomor 48 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Ombudsman RI Nomor 26 Tahun 2017 tentang Tata Cara penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan khususnya di Pasal 25 Ayat 6 b.
"BKN sudah memberikan tanggapan, dan per hari ini sudah dikirim ke ORI surat yang sudah ditandatangani oleh kepala BKN ditujukan kepada Ketua Ombudsman RI," kata Yusuf dalam jumpa pers virtual, Jumat (13/8/2021).
Kata Yusuf, dalam dokumen keberatan atas LAHP Ombudsman yang disampaikan, terdapat lampiran sebagai kelengkapan atas tanggapan BKN.
Baca juga: Ombudsman Pelajari Surat Keberatan dari KPK Terkait Rekomendasi ORI Soal TWK KPK
Ia menyatakan, setidaknya ada dua lampiran penjelasan dalam dokumen yang dikirimkan BKN yakni terkait tindakan korektif yang disarankan ORI dan permintaan agar BKN melakukan penelaahan aturan.
"Karena di dalam kesimpulan ORI itu juga menginggung hal-hal mulai proses, pelaksanaan sampai dengan kesimpulan, dan singgungannya tersebut menurut kami kurang tepat," kata dia.
Baca juga: Rekomendasi Ombudsman Diabaikan, Pegawai KPK Minta Jokowi Turun Tangan
"Nah melalui pintu inilah, kami, BKN menggunakan hak untuk menyampaikan keberatan atas pernyataan Ombusman," tambah Yusuf.
Terkait sikap keberatan KPK ini, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) menilai sikap pimpinan KPK saat ini merespons temuan Ombudsman RI sebagai hal yang tak patut.
Diketahui, melalui surat keberatan atas laporan akhir hasil pemeriksaan (LHAP), KPK mengabaikan rekomendasi Ombudsman terkait adanya pelanggaran atau maladministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).
"Ketua dan Pimpinan KPK menunjukan sikap pembangkangan pada hukum. Hal ini tak hanya melanggar UU Ombudsman saja tapi sekaligus juga menunjukan level integritasnya," kata BW melalui keterangannya, Sabtu (7/8/2021).
BW mengatakan, sikap pimpinan KPK itu di luar etik dan keadaban seorang pimpinan lembaga penegak hukum.
Dia melihat tindakan tersebut justru merendahkan institusi KPK itu sendiri.
"Kepemimpinan juga harus dibimbing oleh adab dan etik. Apa yang dilakukan Ketua dan Pimpinan KPK di luar etik dan keadaban seorang pimpinan lembaga penegakan hukum. Serta secara sengaja menghina dan merendahkan kehormatan institusi KPK sendiri," ujar BW.
KPK Harus Matang
Guru Besar Universitas Gadjahmada, Prof Nurhasan, memiliki harapan tinggi agar KPK sebagai lembaga anti rasuah kedeopannya semakin matang.
Ia menekankan bahwa lembaga yang dipimpin Firli Bahuri ini jangan lagi menggantungkan dukungan-dukungan publik yang semu.
"Kadang dukungan ke KPK ini sifatnya semu, itu yang terjadi sebelum-sebelumnya. Benar atau salah, KPK pokoknya harus maju.
Kedepannya, hal ini tidak boleh terjadi lagi. KPK harus sensitif atas kritikan dan dorongan-dorongan publik," ujar Prof Nurhasan.
Mengenai hasil temuan Ombudsman RI, Nurhasan menilai ORI tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan hasil seleksi alih status pegawai KPK.
Menurutnya lembaga yang seharusnya berhak mengawasi hasil asesmen tes TWK adalah Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
"ORI tidak punya wewenang mengawasi pelaksanaan hasil asesmen tes TWK, melainkan Komisi ASN lah yang berhak berwenang mengawasi weleksi tes ASN itu," kata dia.
"Asesmen itu sudah dilaksanakan oleh lembaga kompeten, seperti BKN, nah kalau tidak sanggup boleh melaksanakan dengan lembaga lain," terangnya.
Argumen senada juga disampaikan Guru Besar Universitas Pancasila, Prof Agus Surono, yang menyebut tidak ada kewajiban untuk melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI.
"ORI kewenangannya sebatas memberikan rekomendasi, boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan," tegas Prof Agus Surono.
Ia meminta publik mencermati objek temuan yang diperiksa ORI baik secara administratif maupun kualifikasinya, termasuk memperjelas legal standing siapa saja yang berhak melaporkan dugaan maladministrasi kasus pelayanan publik.
Agus berharap KPK kedepannya harus menjalankan kinerja sesuai aturan perundang-undangan yang ada.
Sebab KPK bekerja bukan perorangan, atau kelompok tertentu, melainkan sistem yang dibangun.
"Maka masyarakat harus kritis dan mengkritisi KPK secara objektif. Bagaimana kita mengkritisi KPK secara kinerja, bukan karena rasa subjektif kepada perseorangan, lalu mengawal proses pencegahan korupsi, serta penegakan hukum terhadap kasus korupsi sesuai peraturan UU yang berlaku," ujarnya.