TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pandemi Covid-19 masih terus menghantui miliaran umat manusia di muka bumi.
Hampir seluruh negara di dunia dilanda pandemi Covid-19.
Jutaan orang meninggal dunia dan hingga sekarang belum ditemukan obat untuk meredam virus mematikan itu.
Entah kapan pandemi Covid-19 ini akan berlalu namun satu ancaman nyata yang dianggap membahayakan jutaan nyawa manusia di muka bumi ini kembali jadi sorotan.
Itulah perubahan iklim.
Persoalan perubahan iklim mengemuka akhir-akhir ini.
Dampaknya mulai dirasakan di belahan negara lain.
Misalnya apa yang dialami Pulau Sisilia di Italia pekan lalu.
Dilaporkan wilayah itu mencatat suhu terpanas yang pernah tercatat di Eropa yakni 48,8 derajat Celsius, suatu hal yang tak biasa di negara itu.
Warga di negara itu kepanasan seperti hendak terbakar.
Dilaporkan BBC, Rabu (11/8/2021), pencapaian suhu di dekat Syracuse itu masih perlu diverifikasi oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Gelombang panas terbaru di Italia disebabkan oleh antisiklon yang dijuluki Lucifer, bergerak naik dari Afrika.
Antisiklon adalah daerah tekanan atmosfer tinggi, tempat udara tenggelam.
Lucifer diperkirakan akan menuju utara melintasi daratan Italia, yang semakin meningkatkan suhu di kota-kota termasuk ibu kota, Roma.
Gelombang panas juga baru-baru ini menerjang Yunani dan bagian barat Amerika Utara.
Kemudian banjir besar secara tiba-tiba yang melanda Jerman dan China.
Lalu pendapat yang dikemukakan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pekan lalu yang menyebut Kota Jakarta akan tenggelam karena dampak pemananasan global.
Pendapat Biden memantik pro dan kontra di Indonesia.
Baca juga: Presiden AS Joe Biden Bilang Jakarta Akan Tenggelam, Megawati: Saya Enggak Mau Negaraku Kelelep
Ancaman Nyata
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman global yang dampaknya akan dirasakan seluruh dunia tanpa terkecuali, seperti pandemi Covid-19.
“Climate change adalah global disaster yang magnitudenya diperkirakan akan sama seperti pandemi Covid-19, nanti tidak ada satu negara yang bisa escape atau terbebas dari ancaman climate change. Perubahan iklim adalah ancaman global yang nyata dan sudah dipelajari oleh berbagai ilmuwan yang menggambarkan bahwa dunia ini mengalami pemanasan global,” kata Menkeu dalam acara ESG Capital Market Summit 2021 belum lama ini.
Pembangunan yang terjadi di semua negara akan membuat semakin sejahtera, mobilitas semakin tinggi, penggunaan energi semakin besar, dan tekanan terhadap sumber daya alam menjadi sangat sangat nyata.
“Seluruh kegiatan manusia juga makin menghasilkan CO2 emission atau emisi karbon yang mengancam dunia dalam bentuk kenaikan suhu,” ujar Sri Mulyani.
Saat ini, dunia sedang berlomba-lomba untuk menghindarkan kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat sehingga implikasi katastropik tidak terjadi.
“Seluruh dunia sekarang berikhtiar untuk menghindarkan dampak katastropik dari climate change ini dan momentum ini sekarang meningkat di dalam beberapa pertemuan para pemimpin-pemimpin dunia,” kata Sri Mulyani.
Indonesia sebagai salah satu negara yang besar dari sisi geografi, jumlah penduduk, size ekonomi, akan menjadi negara yang diperhitungkan dan bahkan akan dilihat di dalam partisipasinya untuk menangani risiko perubahan iklim ini, termasuk emisi karbon.
Gelombang panas sampai banjir
Pemanasan global ini "telah berdampak pada banyak cuaca dan peristiwa iklim ekstrem di semua wilayah di seluruh dunia".
Penilaian dari Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), terangkum dalam dokumen setebal 42 halaman dan dikenal dengan nama Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan.
Laporan ini membuka serangkaian laporan lain yang akan diterbitkan dalam beberapa bulan mendatang dan merupakan tinjauan besar yang pertama dari segi sains perubahan iklim sejak 2013.
Studi ini diluncurkan kurang dari tiga bulan sebelum pertemuan iklim penting di Glasgow, Skotlandia, COP26.
"Laporan Kelompok Kerja 1 IPCC yang diterbitkan hari ini adalah kode merah untuk umat manusia," kata Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres.
"Jika kita menyatukan kekuatan sekarang, kita dapat menghindari bencana iklim. Tapi, seperti yang dijelaskan oleh laporan pada hari ini, tidak ada waktu untuk penundaan dan tidak ada ruang untuk alasan. Saya mengandalkan para pemimpin pemerintahan dan semua pihak terkait untuk memastikan COP26 berhasil."
Dengan nada yang keras dan tegas, dokumen IPCC menyatakan bahwa "tidak dipungkiri lagi, manusia telah membuat suhu meningkat di atmosfer, lautan, dan daratan".'
Menurut Profesor Ed Hawkins dari Universitas Reading, Inggris, yang juga merupakan salah satu penulis laporan tersebut, para ilmuwan tidak bisa lebih jelas lagi.
"Ini adalah pernyataan yang memuat fakta, kita tidak bisa lebih yakin lagi; tidak bisa dipungkiri dan diperdebatkan, manusia telah membuat Bumi memanas."
Petteri Taalas, Sekjen Organisasi Meteorologi Dunia, berkata, "Meminjam istilah dalam olahraga, atmosfer kita telah terpapar doping, artinya kita telah melihat peristiwa ekstrem terjadi lebih sering dari sebelumnya."
Para penulis laporan menyebutkan, sejak 1970-an, suhu permukaan global telah meningkat lebih cepat ketimbang periode 50 tahunan lain, selama 2.000 tahun terakhir."
Laporan terbaru ini juga semakin menjelaskan bahwa pemanasan yang kita rasakan hingga hari ini telah merubah banyak sistem penunjang di planet kita, yang tidak dapat dikembalikan dalam jangka waktu ratusan hingga ribuan tahun.
Lautan akan terus menghangat dan semakin asam. Pegunungan dan gletser kutub akan terus mencair selama puluhan atau ratusan tahun.
"Konsekuensi ini akan terus berlanjut atau semakin buruk setiap kali Bumi semakin panas," kata Prof Hawkins.
"Dan untuk banyak konsekuensi di antaranya, tidak ada jalan untuk kembali."
Untuk persoalan kenaikan permukaan laut, para ilmuwan telah membuat model perkiraan untuk emisi dengan level berbeda-beda.
Meski begitu, kenaikan permukaan laut sekitar dua meter di akhir abad ini tidak bisa terhindarkan -- juga kenaikan lima meter pada 2150.
Dengan hasil seperti ini, meski kemungkinannya kecil, akan mengancam kehidupan jutaan orang yang hidup di wilayah pesisir dengan banjir pada 2100.
Aspek terpenting dalam laporan ini adalah perkiraan kenaikan suhu dan apa artinya bagi keselamatan umat manusia.
Nyaris semua negara di dunia turut menyepakati tujuan Perjanjian Iklim Paris pada 2015.
Pakta ini bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2C di abad ini, dan melanjutkan usaha untuk menekan kenaikan di bawah 1,5C.
Laporan baru ini menyatakan, dari semua skenario emisi yang diperkirakan oleh para ilmuwan, kedua target ini tidak akan tercapai abad ini, kecuali pengurangan karbon besar-besaran dilakukan.
Para saintis juga meyakini kenaikan suhu sebesar 1,5C akan terjadi pada 2040 dalam semua skenario. Jika emisi tidak juga dikurangi dalam beberapa tahun, kemungkinan ini akan terjadi lebih cepat.
Prediksi ini tertulis dalam laporan khusus IPCC pada 1,5C di 2018, dan studi terbaru ini mengkonfirmasinya.
"Kita akan mencapai satu setengah derajat di tahun-tahun terpisah jauh lebih awal. Kita telah melihatnya dalam dua bulan selama El Niño pada 2016," ujar Prof Malte Meinshausen, salah satu penulis IPCC dari Universitas Melbourne di Australia.
Lima dampak pemanasan global di masa depan:
- Suhu global akan 1,5C lebih panas di atas level 1850-1900 pada 2040 dengan semua skenario emisi.
- Kutub Utara kemungkinan akan kehabisan es pada bulan September setidaknya satu kali sebelum 2050, dalam semua skenario.
- Akan ada peningkatan kejadian ekstrem berkaitan dengan iklim dengan skala "yang belum pernah terjadi sebelumnya" bahkan dengan kenaikan suhu sebesar 1,5C.
- Peristiwa kenaikan permukaan laut ekstrem yang terjadi sekali dalam seabad di masa lalu diproyeksikan terjadi setidaknya setiap tahun di lebih dari setengah lokasi pengukuran ombak pada 2100.
- Kemungkinan besar akan ada peningkatan dalam peristiwa kebakaran di banyak wilayah.'
Sumber: BBC Indonesia/Kontan.co.id/Tribunnews.com