TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah napi koruptor di Lapas Sukamiskin Bandung seperti Setya Novanto, Imam Nahrawi hingga Dada Rosada tidak mendapat remisi kemerdekaan.
Kalapas Sukamiskin Bandung, Elly Yuzar mengatakan, total ada 73 napi di Lapas Sukamiskin yang mendapatkan remisi Kemerdekaan. Dari 73 napi tersebut, 17 di antaranya merupakan napi dengan kasus korupsi.
"Ada 17 napi Tipikor dari 73 napi yang dapat remisi," ujar Elly Yuzar, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (17/8/2021).
Elly menyebut, Mantan Wali Kota Tomohon, Jefferson Rumajar menjadi salah satu narapidana yang menerima potongan hukuman paling banyak, yakni selama enam bulan.
Sementara itu, Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto dan Mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada tak mendapat remisi.
Baca juga: Selain Koruptor, Lapas Sukamiskin Juga Beri Remisi Kepada Pembunuh
"Seingat saya Jefferson paling banyak enam bulan, dia kasus tipikor," katanya.
Menurut Elly, tak ada narapidana di Lapas Sukamiskin yang langsung bebas seusai menerima remisi. "Tidak ada yang langsung bebas," ucapnya.
Baca juga: 134.430 Narapidana Terima Remisi HUT RI ke-76
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kemenkum HAM Kanwil Jawa Barat, Taufiqurakhman menambahkan, total ada 12.164 napi di sejumlah Lapas di Jawa Barat yang mendapatkan remisi kemerdekaan. Beberapa di antaranya bahkan diusulkan langsung bebas.
Baca juga: ICW Desak Menkumham Pindahkan Setnov ke Nusakambangan
Taufiq mengatakan, jumlah yang diusulkan terdiri dari remisi umum I dan remisi umum II.
Remisi umum I merupakan pemotongan masa hukuman, sedangkan remisi umum II diberikan kepada napi yang saat diberikan remisi langsung bebas.
Baca juga: KPK Setor Uang Rampasan Rp 12,5 Miliar Dari Eks Menpora Imam Nahrawi Ke Kas Negara
Menurut Taufiq, napi yang mendapatkan remisi umum II atau langsung bebas berjumlah 266 orang. Sedangkan yang mendapatkan remisi I sebanyak 11.898 orang.
"RU (remisi umum) II napi yang saat dapat remisi, sudah habis masa pidananya sehingga langsung bebas saat itu," katanya.
Total ada sebanyak 2.491 narapidana dapat menghirup udara bebas pada peringatan Hari Ulang Tahun e-76 Republik Indonesia, setelah menerima Remisi Umum (RU) II.
Sedangkan 131.939 narapidana menerima pengurangan masa hukuman atau RU I yang besarannya bervariasi mulai dari 1-6 bulan.
Secara keseluruhan, narapidana yang menerima RU tahun 2021, baik RU I maupun RU II, berjumlah 134.430 orang yang tersebar di seluruh Indonesia.
Remisi diberikan kepada seluruh narapidana yang telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif.
Antara lain telah menjalani pidana minimal 6 bulan, tidak terdaftar pada Register F, dan aktif mengikuti program pembinaan di lapas, rutan, atau LPKA sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak WBP, Perubahan Pertama: PP Nomor 28 Tahun 2006, Perubahan Kedua: PP Nomor 99 Tahun 2012, Keputusan Presiden RI No. 174 /1999, serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. 3 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi kepada WBP.
"Remisi merupakan wujud apresiasi terhadap pencapaian perbaikan diri yang tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari narapidana."
"Jika mereka tidak berperilaku baik, maka hak Remisi tidak akan diberikan," tutur Direktur Jenderal Pemasyarakatan Reynhard Silitonga.
Reynhard juga menerangkan pemberian RU tahun 2021 berhasil menghemat pengeluaran negara dengan memangkas anggaran makan narapidana hingga lebih dari Rp205 miliar.
Penghematan anggaran makan 131.939 narapidana penerima RU I mencapai Rp201.329.640.000, sedangkan penghematan anggaran makan 2.491 narapidana penerima RU II mencapai Rp4.319.190.000.
Sehingga total penghematan anggaran makan narapidana mencapai Rp205.648.830.000.
“Pemberian remisi bukan sekadar reward kepada narapidana yang berkelakuan baik serta memenuhi persyaratan administratif dan substantif, namun juga anggaran negara yang dihemat dengan berkurangnya masa pidana narapidana,” terang Reynhard.
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menegaskan, pemberian remisi bukan serta-merta kemudahan bagi WBP untuk cepat bebas, tetapi instrumen untuk meningkatkan kualitas pembinaan dan motivasi diri dalam proses reintegrasi sosial serta melakukan internalisasi dan implementasi nilai-nilai pembinaan yang diperoleh sebagai modal untuk kembali ke masyarakat.
“Tunjukkan sikap dan perilaku yang lebih baik lagi. Jadilah insan yang baik, hiduplah dalam tata nilai kemasyarakatan yang baik, taat aturan, berpartisipasi aktif dalam pembangunan untuk melanjutkan perjuangan hidup, kehidupan, dan penghidupan sebagai warga negara, anak bangsa, dan anggota masyarakat,” ujarnya.
Yasonna mengapresiasi respons cepat yang diambil Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan seluruh jajaran Pemasyarakatan dalam upaya penanggulangan COVID-19, mengingat overcrowded di lapas dan rutan yang mencapai 103% menyebabkan risiko penularan COVID-19 meningkat.
Seperti pembatasan penerimaan tahanan baru, penundaan kegiatan layanan kunjungan langsung yang diganti dengan layanan kunjungan video call, pelaksanaan sidang melalui video conference, vaksinasi, pengecekan kesehatan petugas, narapidana, tahanan dan anak, termasuk kebijakan asimilasi di rumah.
Ia juga mendukung pemindahan 664 narapidana bandar narkotika ke Nusakambangan sebagai bentuk kesungguhan dan komitmen pemasyarakatan dalam memutus mata rantai dan mencegah peredaran gelap narkoba.
“Melalui pemindahan ini diharapkan dapat memberantas peredaran obat-obatan terlarang di lapas maupun rutan yang merupakan persoalan klasik yang terus terjadi dari tahun ke tahun,” harapnya.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga melaksanakan arahan Presiden Joko Widodo untuk mengatasi overcrowding di lapas melalui “Groundbreaking Pembangunan Lapas di Nusakambangan”.
“Kami meyakini penyediaan infrastruktur Lapas merupakan program prioritas yang dapat mendukung keberhasilan penegakan hukum yang profesional,” kata Yasonna. (Tribun Network/ham/naz/wly)