News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Bivitri Susanti: Amandemen UUD 1945 Bukan untuk Kepentingan Publik

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Toni Bramantoro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti melihat wacana Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang bakal memasukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) hanya keinginan Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) untuk mendapatkan kewenangan lebih besar.

"Ini kemauan MPR saja, untuk mengambil kembali kekuatan politiknya yang dulu sudah dikembalikan ke rakyat pada amandemen 1999-2002," ujar Bivitri saat dikonfirmasi, Kamis (19/8/2021).

Bivitri menilai Indonesia sudah memiliki UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengatur adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek.

"Bahwa masih ada yg tidak selaras, kesalahan bukan pada dokumen (harus berbentuk RPJM atau PPHN) tetapi dalam pelaksanaannya," tutur Bivitri.

Dalam penyelenggaraan negara modern, kata dia, terutama yang mendukung inovasi dan juga adaptif, tidak perlu ada 'haluan negara' yang ditentukan dengan ketat.

"Model RPJM yang sekarang sudah bagus, apalagi levelnya kebijakan di tingkat UU, sedangkan PPHN yang diinginkan MPR kan levelnya "ketinggian," di atas UU, sehingga tidak felksibel dan akan banyak implikasi negatif untuk kebijakan teknis," ucapnya.

Selain itu, PPHN dinilai tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan saat ini, sehingga adanya PPHN nanti tidak ada implikasi hukum tata negara apabila tidak diikuti.

"Tidak bisa lagi dijatuhkan dengan alasan politik pelanggaran PPHN seperti halnya dulu Soekarno dianggap melanggar haluan negara," kata Bivitri.

Bivitri mengatakan kemungkinan pembahasan PPHN dalam Amandemen UUD 1945, akan melebar dan sarat akan kepentingan. Karena tidak ada aturan yang mewajibkan pembahasan sesuai agenda secara pasti.

Dalam Pasal 37 UUD 1945 telah diatur tata aturan pengajuan perubahan pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, pengubahan harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota, dan keputusan harus 50% +1. Akan tetapi hal tersebut hanyalah mengatur soal kuorum dan bisa berubah dengan mudah sesuai persetujuan anggota.

"Jadi bisa saja ada agenda tambahan di tengah dan bisa disetujui sepanjang disetujui sesuai kuorum. Dan jangan lupa dalam politik tawar-menawar itu sering terjadi, sangat terbuka peluang, agar PPHN masuk, ada yang harus disetujui," ujar Bivitri.

Bivitri berujar, jika Amandemen UUD 1945 dibahas di tengah pandemi Covid-19 akan menyedot banyak energi. Amandemen, kata dia, biasanya dibahas ketika terjadi peristiwa politik luar biasa.

"Kalau amandemennya dengan cara seperti ini (top down), bisa dipastikan memang ada kepenting elite politik untuk kepentingan kekuasaan mereka sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat," ucap Bivitri.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini