TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan alasan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemenkumham) memberikan remisi kepada sejumlah koruptor pada peringatan HUT ke-76 RI.
Salah satu koruptor yang mendapat pemotongan hukuman adalah terpidana korupsi pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra atau Djoko Tjandra.
Pemberian remisi ini menjadi janggal mengingat Djoko Tjandra baru menjalani hukuman 2 tahun pidana penjara pada akhir Juli 2020 atas perkara cessie Bank Bali berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) tahun 2009.
Sebelum dieksekusi, Djoko Tjandra buron selama 11 tahun.
"Tentu hal ini janggal, sebab, bagaimana mungkin seorang buronan yang telah melarikan diri selama sebelas tahun dapat diberikan akses pengurangan masa pemidanaan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (20/8/2021).
Baca juga: 134.430 Narapidana Terima Remisi HUT RI ke-76
Kurnia mengingatkan, Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tidak hanya mensyaratkan telah menjalani 1/3 masa pidana, melainkan juga mewajibkan terpidana berkelakuan baik.
Untuk itu, ICW mempertanyakan parameter Kemenkumham dalam menetapkan seorang Djoko Tjandra telah berkelakuan baik hingga berhak mendapat remisi.
"Pertanyaan lanjutan, apakah seseorang yang melarikan diri ketika harus menjalani masa hukuman dianggap sebagai berlakuan baik oleh Kemkumham?," tanya Kurnia.
Baca juga: Setnov dan Imam Nahrawi Tidak Dapat Remisi, Mantan Wali Kota Tomohon Dapat Terbanyak
Selain itu, ICW mendesak Kemenkumham membuka seluruh nama-nama terpidana korupsi yang mendapatkan remisi umum pada peringatan HUT ke-76 Kemerdekaan RI.
Tidak hanya itu, ICW juga mendesak Kemkumham mencantumkan secara detail alasan narapidana korupsi itu mendapatkan remisi.
"Misalnya, ketika terpidana menjadi Justice Collaborator, maka pertanyaannya: kapan status itu didapatkan? Pemberian informasi ini menjadi penting karena menjadi hak masyarakat. Terlebih, dokumen itu tidak dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik," kata Kurnia.
Keterbukaan informasi mengenai koruptor yang mendapat remisi dan alasan pemberian remisi ini penting lantaran berdasarkan informasi, selain Djoko Tjandra terdapat koruptor lainnya yang juga mendapat pemotongan masa hukuman.
Beberapa di antaranya, mantan Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih yang merupakan terpidana suap pembangunan PLTU Riau-1 serta pengusaha yang juga mantan kader Nasdem Andi Irfan Jaya yang merupakan terpidana perantara suap dari Joko Tjandra kepada mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung Pinangki Sirna Malasari.
Kurnia mengingatkan Kemkumham mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang mensyaratkan narapidana kasus korupsi yang mendapat remisi haruslah menyandang status justice collaborator.
"Jika benar, tentu hal ini mesti diklarifikasi secara jelas oleh Kemenkumham. Sebab, dua terpidana itu diketahui selama proses persidangan hingga putusan tidak mendapatkan status justice collaborator. Sedangkan syarat mendapatkan remisi bagi terpidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 34 A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 adalah menyandang status sebagai justice collaborator," kata dia.