Sebab, di sisi lain, para pegawai kala itu juga tak memiliki pilihan, karena TWK adalah amanat undang-undang.
Hal itu dibenarkan salah satu penyelidik KPK yang gagal dalam TWK, Rieswin Rachwell.
Rieswin mengakui para pegawai sejak awal tak diberi arahan bahwa TWK akan menjadi proses seleksi.
Hingga November 2020, atau beberapa bulan sebelum TWK, ia memastikan tak ada ayat dalam peraturan KPK yang mengatur soal TWK.
Peraturan TWK belakangan muncul pada 27 Januari 2020, dalam peraturan yang diterbitkan KPK.
Namun, hingga saat itu, tak ada pula pegawai yang mengetahui konsekuensi dari pelaksanaan TWK.
"Tidak ada juga yang mengetahui apa konsekuensinya jika tes ini dilaksanakan. Apakah ada yang lulus atau tidak lulus, apakah ada yang akan diberhentikan jika dia tidak lulus itu tidak ada yang tahu," kata dia.
Sementara itu, terkait proses persiapan asesmen TWK pegawai KPK, Anam mengungkapkan bahwa istilah "seleksi" yang menggantikan istilah "alih status" ternyata muncul pada detik-detik akhir pembahasan alih status pegawai KPK sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo.
Baca juga: Penyidik dan Penyelidik KPK Dinonaktifkan Akibat TWK Tak Berdampak ke Penindakan
"Bahkan ngomong kata "seleksi" itu muncul di ujung (proses). Bukan di awal proses. Di tengah proses. Bukan. Tapi benar-benar di ujung (proses). Kayak akrobatik, gitu," katanya.
Dia mengungkapkan, pada 25 Mei 2021, pimpinan KPK menyelenggarakan pertemuan dengan pimpinan lembaga lain yang terkait dengan pelaksanaan alih status.
Pertemuan itu diselenggarakan sebagai bagian dari tindaklanjut arahan Presiden Jokowi.
Sebelumnya, Presiden Jokowi sempat berpidato di Istana Negara terkait alih status pegawai KPK.
Saat itu, Presiden mengatakan alih status pegawai KPK tidak boleh merugikan pegawai KPK.
"Tapi ketika rapat itu kami dapat keterangan, asesornya ngotot. Sehingga internal KPK juga merespons itu. Internal KPK itu juga tidak semuanya menerima dalam satu suara," ungkapnya.
Baca juga: KPK Tetap Bakal Pecat 56 Pegawai yang Tak Lulus TWK