"Kalau tes ini diberlakukan, berarti kita juga menutup masa depan mereka untuk mengabdi kepada negara melalui polisi maupun TNI. Karena itu sudah sangat jelas, tahun 1984 pun saya sebelum masuk, itu dilaksanakan tes itu," kata dia.
Akhirnya, kata Sri, pada saat itu disepakati, pada proses seleksi calon Bintara Polri dan Akpol tahun 2006 "tes keperawanan" tidak boleh dilakukan tetapi tidak dalam bentuk hitam di atas putih.
Meskipun saat itu tes tersebut disepakati tidak dilaksanakan namun tidak ada Surat Keputusan (SKEP) yang menegaskan bahwa tes tersebut tidak boleh dilakukan.
Ia pun ternyata masih kerap menerima adanya pengaduan yang mengungkapkan bahwa tes tersebut masih dilakukan di sejumlah wilayah.
"Saya mendengar banyak cerita pengaduan, bahwa ternyata diam-diam tes itu masih dilakukan. Saya ingatkan, ingat lho, polisi itu menegakkan hukum. Kita punya Undang-Undang yang harus kita patuhi. Oke sekarang dalam polisi, saya mungkin tidak akan bisa bicara banyak, tapi kalau nanti masyarakat protes yang akan rugi polisi sendiri, bagaimana menjawabnya?" kata dia.
Selain itu, ia pun mengungkapkan pengalamannya pada 2008 saat Polwan beraudiensi dengan wanita DPR.
Ketika itu, kata dia, ia berdiskusi dengan seorang peserta audiensi yang menyatakan bahwa syarat Polwan harus perawan.
Saat itu, kata Sri, ia menjelaskan bahwa di Indonesia masyarakat yang terdiri dari beragam latar belakang sangat rawan terjadi konflik.
Baca juga: Respons TNI AU Soal Tes Keperawanan Dalam Proses Rekrutmen di Lingkungan TNI
Di wilayah konflik, kata dia, perempuan dan anak kerap menjadi korban termasuk juga korban perkosaan.
Ia pun mempertanyakan perihal bagaimana negara bisa menjamin untuk melindungi warganya bebas perkosaan.
Menurut Sri, jika memang negara tidak mampu untuk menjamin tidak ada perkosaan "tes keperawanan" tersebut sudah seharusnya tidaj dilakukan.
Sri mengatakan soal urusan moral seharusnya memang dibuat ukuran-ukuran di luar "tes keperawanan".
"Apakah hanya sekadar hymen itu bisa menjamin? Sementara selama ini tidak ada bukti penelitian yang menunjukkan bahwa perempuan yang rusak hymennya pasti rusak moralnya. Bahwa perempuan yang tidak perawan pasti sudah tidak produktif dalam bekerja. Belum ada satupun penelitian yang menunjukkan itu," kata dia.
Ia pun menegaskan seharusnya negara memberi kesempatan seluas mungkin pada anak-anak bangsa mengabdi ke negara, baik melalui polisi maupun TNI.
Sri kemudian mengungkapkan bahwa polemik terkait "tes keperawanan" di tubuh kepolisian berakhir setelah Kapolri yang menjabat saat itu, Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengeluarkan Surat Keputusan bahwa tes itu tidak boleh lagi dilakukan di kepolisian.
"Kalau sudah ada hitam di atas putih tentu semua wajib mematuhi aturan itu," kata dia.