TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto akan memasuki masa pensiun pada November 2021.
Nama-nama calon penggantinya mulai bermunculan dan santer dibicarakan.
Satu di antaranya adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI Andika Perkasa.
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Effendi Simbolon secara terang-terangan meyakini Andika akan menggantikan Hadi, sehingga matra AD akan kembali memegang tampuk pimpinan tertinggi di TNI.
"Insha Allah dalam waktu dekat, Jenderal Andika Perkasa menjadi Panglima TNI," kata Effendi, Jumat (3/9).
Baca juga: Tipu Calon Pilot Sejak 2018, Disersi TNI Kantongi Rp 2 Miliar
Berbeda, anggota Komisi I DPR RI Fraksi Golkar Christina Aryani mengatakan setiap kepala staf angkatan memiliki peluang yang sama untuk memimpin TNI.
Terutama jika merujuk pada UU TNI No. 34 Tahun 2004 Pasal 13 ayat 4, dimana dijelaskan bahwa jabatan Panglima TNI dijabat oleh Perwira Tinggi aktif yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
"Saya berpendapat untuk saat ini ketiga kepala staf punya peluang yang sama, karena berdasarkan ketentuan UU TNI yang bisa menjadi Panglima TNI adalah kepala staf atau pernah menjadi kepala staf," kata Christina, Senin (6/9).
Muhammad Iqbal, anggota Komisi I DPR RI Fraksi PPP sepakat dengan Christina.
Hanya saja, Iqbal menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pemegang hak prerogatif memiliki kemampuan untuk memilih dan menunjuk siapa yang akan menjadi orang nomor satu di TNI.
Mengingat Panglima TNI saat ini akan segera memasuki masa pensiun, dia meminta agar presiden segera mengirimkan nama calon yang diharapkan.
"Kami meminta kepada Presiden agar secepatnya mengirimkan nama calon Panglima TNI yang akan menggantikan pak Hadi Tjahjanto ke DPR agar segera bisa di proses. Siapapun nantinya yang akan memimpin TNI, apakah dari AL, AD ataupun AU, yang terpenting seorang panglima TNI harus mempunyai integritas dan visi ke depan untuk membangun TNI yang profesional dan siap menjawab tantangan pertahanan di masa datang yang semakin dinamis," ucap Iqbal.
Baca juga: Sebut Jenderal Andika Berpeluang Jadi Panglima TNI, Dukungan Effendi Simbolon Mewakili Siapa?
Merujuk pada belum pernahnya terjadi pergantian Panglima TNI dari matra yang sama selain dari TNI AD, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memandang kandidat kuat pengganti Hadi ada pada diri KASAD Andika Perkasa dan KSAL Yudo Margono.
Khairul menyebut peluang keduanya menjadi Panglima TNI bergantung pada beberapa hal, seperti waktu penunjukkan dari presiden hingga barrier antara kandidat dengan presiden.
"Peluang Andika memang cukup besar jika pergantian Panglima TNI dilakukan dalam waktu dekat, dan penundaan akan sangat berdampak pada peluang keterpilihan Andika. Sementara itu peluang Yudo Margono cenderung terus menguat seiring waktu. Relatif tak ada masalah baginya dan bagi organisasi TNI, jika pergantian dilakukan sekarang ataupun menjelang masa pensiun Hadi Tjahjanto," ujar Khairul.
Secara politik, Khairul menilai kebutuhan presiden hari ini adalah mendapatkan para pembantu dengan loyalitas tanpa reserve, terutama untuk memuluskan agenda-agenda politik dan pemerintahan.
Dari situ, bisa dilihat bahwa tidak ada barrier dalam relasi antara Presiden Jokowi dan Yudo Margono. Namun hal itu sekaligus menunjukkan bahwa Yudo tidak punya endorser yang sangat kuat untuk menggaransi dirinya terpilih.
"Sementara Andika Perkasa memiliki endorser kuat sekaligus barrier. Melalui sosok ayah mertuanya, Hendropriyono maupun dari beragam pernyataan dukungan dari sejumlah politisi dan tokoh," tambahnya.
Lobi Politik
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie menyebut isu lobi-lobi politik dalam pemilihan Panglima TNI perlu menjadi kekhawatiran, lantaran berpotensi mengganggu profesionalitas TNI.
Nama Andika yang sempat digadang oleh politisi Effendi Simbolon seolah tak bisa dielakkan lobi politik sudah merambah TNI.
Posisi pucuk pimpinan TNI, kata Ikhsan, perlu dipastikan steril dari upaya-upaya kepentingan atau intervensi politik kelompok tertentu untuk menghindari perebutan jabatan yang dapat menyebabkan ketidakkondusifan untuk internal TNI.
"Kesterilan ini juga perlu untuk memastikan netralitas dan profesionalitas TNI, terutama Panglima TNI, dalam agenda-agenda politik praktis seperti Pemilu dan Pilkada, karena tidak memiliki hutang politik pada kelompok tertentu. Sehingga pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI," kata Ikhsan, Senin (6/9).
Baca juga: DPR Tunggu Surat dari Presiden Jokowi untuk Sodorkan Nama Calon Panglima TNI
Senada, Khairul menyatakan pergantian Panglima TNI merupakan sebuah proses politik, di mana presiden mengusulkan dan kemudian DPR akan menilai sebelum memutuskan setuju atau tidak dengan pilihan presiden.
Akan tetapi, yang tidak patut adalah jika para 'bakal calon' ini kemudian menggunakan instrumen atau kekuatan politik tertentu untuk memperkuat peluang untuk dipilih presiden. Contohnya melalui komunikasi dan negosiasi politik yang ditampakkan melalui dukungan maupun pernyataan politisi yang menunjukkan keunggulan calon tertentu dibanding calon lainnya.
Jika ini yang terjadi dan proses politik berpihak pada pihak yang melakukan, akan sulit bagi publik untuk memandang objektif kiprah kelembagaan TNI.
"Sulit bagi TNI untuk secara fair berjarak dengan kekuatan politik yang 'getol' mendukung Panglimanya. Sulit membayangkan kekuatan-kekuatan politik pendukung itu tidak tertarik melibatkan TNI dalam 'mengamankan' kepentingannya," kata Khairul.
Sepanjang tak ada kebutuhan mendesak atau persoalan yang mengharuskan penggantian segera, presiden tidak bisa didikte. Apalagi menurut Khairul, siapapun yang terpilih, tidak akan ada banyak perbedaan.
Selain kecakapan dasar dan kapasitas kepemimpinan yang kurang lebih setara, masing-masing kandidat juga punya keunggulan kompetitif.
Baca juga: Tinjau Vaksinasi Covid-19 di Yogyakarta, Panglima TNI Apresiasi Nakes Bertugas Tanpa Kenal Lelah
Panglima TNI, lanjutnya, tidak bekerja sendiri. Dia akan didukung dan ditopang oleh para staf dan komandan satuan di jajaran Mabes TNI maupun di tiap-tiap matra.
Soal soliditas juga tak perlu dikhawatirkan muncul resistensi, sebab organisasi TNI sudah cukup mapan dan cepat beradaptasi terhadap perubahan kepemimpinan.
"Makanya kemudian kita hanya bisa berharap, presiden maupun DPR tidak terjebak pada bangunan citra dan reputasi yang disodorkan oleh para endorser (pendukung), tanpa melihat realitas secara jernih dan obyektif," ucapnya.
Menghindari Dominasi
Sorotan terhadap calon-calon Panglima TNI, pada dasarnya bukan saja mengarah kepada siapa sosok dan bagaimana kapasitasnya, tetapi juga terkait asal matra angkatannya.
Ikhsan Yosarie selaku peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute menyebut realitas bahwa utusan dari AD masih mendominasi posisi Panglima TNI pascaorde baru merupakan persoalan yang tidak bisa dianggap sepele, karena stabilitas internal TNI bisa menjadi terganggu.
Pada masa Orde Baru, posisi Panglima ABRI berasal dari AD, mulai dari Jenderal Soeharto sampai yang terakhir Jenderal Wiranto. Pemerintahan Gus Dur telah memelopori rotasi ini sebagai bagian penting dalam reformasi internal TNI, setelah menunjuk Laksamana Widodo A.S dari AL sebagai Panglima TNI.
Walaupun setelah itu kembali terlihat adanya rotasi yang macet dan dominasi salah satu matra angkatan. Bahkan Ikhsan menyebut pada tahun 2015, salah satu purnawirawan TNI AU pernah mengkritik persoalan ini.
"Presiden Jokowi perlu memperhatikan rotasi antarmatra dalam pemilihan posisi Panglima TNI, sebagaimana diatur pada Pasal 13 poin 4 UU TNI bahwa jabatan Panglima TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan," kata Ikhsan.
Baca juga: Setelah Puncak Bogor Jadi Sorotan Jokowi, Giliran Kemacetan di Kawasan Wisata Tawangmangu yang Viral
Namun demikian, jika disimak betul Pasal 13 poin 4 tersebut, memang terdapat potensi ketidak-harusan tentang rotasi antarmatra. Potensi tersebut muncul melalui Frasa 'dapat' dalam kalimat 'jabatan Panglima TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian' yang memiliki tafsiran lain, yaitu boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan, ihwal pergiliran posisi Panglima TNI.
Beda halnya jika kata 'harus', maka secara jelas pasal tersebut mewajibkan bahwa posisi Panglima TNI itu bergantian pada tiap-tiap matra angkatan.
Akan tetapi, Ikhsan menyatakan rotasi antarmatra perlu dilakukan untuk menghindari dominasi salah satu matra dalam kesatuan TNI, terutama dalam kaitannya dengan dominasi terhadap posisi Panglima TNI, yang bisa menciptakan suasana dan kondisi yang negatif.
"Setelah melantik Marsekal Hadi Tjahjanto (AU) sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo (AD), maka tentu rotasi matra berikutnya adalah AL. Presiden Joko Widodo perlu meminimalisir terjadinya dominasi salah satu matra sebagai Panglima TNI pascaorde baru, sebagaimana pernah dilakukan ketika melantik Jenderal Gatot Nurmantyo menggantikan Jenderal Moeldoko, karena keduanya berasal dari matra darat," tegasnya.