“Jadi peralihan pada fokus ke China ini pasti akan mempunyai dampak kepada kita di Indonesia,” tambahnya.
Sementara itu, Pengamat Politik dan Kajian Timur Tengah Ramdansyah mengatakan bicara tentang kekuasaan pasti ada perlawanan.
Rumusnya memang seperti itu ketika bicara kuasa maka ada kontranya yaitu kontra kuasa.
“Benar nggak sih, Taliban ini sebuah negara teroris seperti yang disangka oleh Amerika. Ini yang kemudian kita tidak perlu terjebak pada itu semua. Apalagi kalau kita bicara seperti suku Maya yang dia bilang be on of history,” katanya.
“Mau demokrasi liberal hari ini. Maupun kapitalismenya bagian akhir dari sejarah. Komunis sosialis. Kemudian islam dengan isme lainnya. Islamisme merupakan sebuah tesis anti tesis yang sudah berakhir. Yang sekarang disebut demokrasi adalah demokrasi liberal yang Amerika sebagai komandannya,” tambahnya.
Pengamat Politik Rocky Gerung mengatakan Anis Matta memulai suatu uraian yang bersifat membaca paradigma.
“Di dalam pertandingan, sebut saja pertandingan ideologi dunia. Setelah Amerika berupaya untuk mengadaptasikan doktrin war on teror lau bertemu dengan global pandemi. Lalu kita berupaya untuk membaca apa yang terjadi di dalam ruang-ruang sidang strategis di Amerika. Sehingga isu itu kemudian dijadikan bahan untuk menganalisis Prospek perdamaian dunia. Prospek demokrasi dunia. Prospek ekonomi dunia. Itu soal-soalnya yang secara bagus diuraikan oleh Anis Matta,” terangnya.
Ramdansyah, kata Rocky kembali telah memberi perspektif yang juga amat tajam. Yaitu antropolitikal note.
“Yang biasanya kalau orang belajar antropologi, dia akan ambil posisi yang culture mater. Karena itu, tidak salah kalau seorang antropolog going notif, dalam membaca fenomena di Afghanistan,” tutupnya.