TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) menggelar diskusi publik aktual bertajuk “Taliban, Gerakan Islam dan Masa Depan Geopolitik Global' pada Kamis (9/10/2021).
Diskusi yang digelar secara virtual ini diikuti hampir 600 peserta.
Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta mengatakan Amerika Serikat enggan kembali berurusan dengan Taliban.
Tak pelak, Afghanistan ditinggalkan.
Hal inilah yang selanjutnya disebut sebagai Trumpisme dan menjadi tantangan besar bagi Joe Biden.
“Ada empat poin menarik yang terkait Taliban ini. Pertama soal alasan penarikan pasukan Amerika dari Afghanistan. Tentu saja kita bisa mengatakan bahwa, memang Amerika relatif kapok di sana ya. Perlawanan tiada henti, resistensi terus-menerus dan kerugian yang luar biasa besarnya, yang diterima Amerika,” ujar Anis Matta.
Baca juga: Kantor Perwakilan PBB di Afghanistan Sebut Stafnya Kerap Diintimidasi oleh Taliban
Mantan politikus PKS itu menjelaskan alasan utama ditariknya pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan ini adalah koreksi terhadap keseluruhan strategi geopolitik.
Selain itu, penarikan pasukan dari Afghanistan adalah suatu langkah peralihan fokus geopolitik dari Timur Tengah ke China.
Terlebih 2015 lalu, Amerika secara resmi menyatakan China sebagai musuh utama dan karena itu war of teror (perang terhadap terorisme) saat ini tidak ada lagi relafasinya.
Dengan mengetahui dua alasan utama yang membuat Amerika Serikat menarik pasukannya dari Afghanistan, perlu bagi Indonesia untuk mengetahui implikasinya.
“Kalau Amerika sekarang akan fokus ke China, sedangkan kita bisa mengerti, bahwa perang supremasi ini akan menjadi pemicu utama di balik semua peristiwa peristiwa Geopolitik penting, yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dan Saya kira yang perlu kita antisipasi nanti di kawasan kita,” terangnya.
Poin itu, kata Anis penting sekali karena Wakil Presiden Amerika Serikat, Kemala Harris 22 Agustus 2021 kemarin saja melakukan kunjungan ke Singapura untuk mengkonfirmasi kembali seluruh sekutu-sekutunya di kawasan Asia.
Walaupun sebetulnya sekutu-sekutu di kawasan sebelumnya sudah ada.
Baca juga: Proses Evakuasi WNI dari Afghanistan Rumit, Taliban Kawal dari KBRI Hingga Bandara Kabul
“Itu cara Amerika membuat pengelompokan,” terangnya.
“Jadi peralihan pada fokus ke China ini pasti akan mempunyai dampak kepada kita di Indonesia,” tambahnya.
Sementara itu, Pengamat Politik dan Kajian Timur Tengah Ramdansyah mengatakan bicara tentang kekuasaan pasti ada perlawanan.
Rumusnya memang seperti itu ketika bicara kuasa maka ada kontranya yaitu kontra kuasa.
“Benar nggak sih, Taliban ini sebuah negara teroris seperti yang disangka oleh Amerika. Ini yang kemudian kita tidak perlu terjebak pada itu semua. Apalagi kalau kita bicara seperti suku Maya yang dia bilang be on of history,” katanya.
“Mau demokrasi liberal hari ini. Maupun kapitalismenya bagian akhir dari sejarah. Komunis sosialis. Kemudian islam dengan isme lainnya. Islamisme merupakan sebuah tesis anti tesis yang sudah berakhir. Yang sekarang disebut demokrasi adalah demokrasi liberal yang Amerika sebagai komandannya,” tambahnya.
Pengamat Politik Rocky Gerung mengatakan Anis Matta memulai suatu uraian yang bersifat membaca paradigma.
“Di dalam pertandingan, sebut saja pertandingan ideologi dunia. Setelah Amerika berupaya untuk mengadaptasikan doktrin war on teror lau bertemu dengan global pandemi. Lalu kita berupaya untuk membaca apa yang terjadi di dalam ruang-ruang sidang strategis di Amerika. Sehingga isu itu kemudian dijadikan bahan untuk menganalisis Prospek perdamaian dunia. Prospek demokrasi dunia. Prospek ekonomi dunia. Itu soal-soalnya yang secara bagus diuraikan oleh Anis Matta,” terangnya.
Ramdansyah, kata Rocky kembali telah memberi perspektif yang juga amat tajam. Yaitu antropolitikal note.
“Yang biasanya kalau orang belajar antropologi, dia akan ambil posisi yang culture mater. Karena itu, tidak salah kalau seorang antropolog going notif, dalam membaca fenomena di Afghanistan,” tutupnya.