News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kebakaran di Lapas Tangerang

Benang Kusut Over Kapasitas Lapas, Problem Menahun yang Gagal Dibereskan Pemerintah

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jenazah korban kebakaran Lapas Kelas I Tangerang atas nama Rudhi bin Ong Eng Cue diserahkan kepada keluarga di Instalasi Kedokteran Forensik RS Polri, Jakarta Timur, Jumat (10/9/2021). Saat ini masih ada 40 jasad korban kebakaran lainnya yang harus diidentifikasi oleh tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri. Tribunnews/Herudin

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebakaran yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan/Lapas Kelas I Tangerang, Rabu (8/9/2021) lalu, masih menyisakan banyak persoalan.

Kelebihan kapasitas atau overkapasitas warga binaan yang mencapai 400 persen menjadi sorotan publik.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan persoalan tersebut bukanlah persoalan baru.

Bahkan persoalan itu sudah ada sejak dia belum menjadi wakil rakyat pada 2014 silam. Overkapasitas disebutnya sudah menjamur dan menjadi masalah umum di lapas-lapas Tanah Air.

"Persoalan lapas ini adalah persoalan yang sudah sangat lama, jadi bukan (muncul) akhir-akhir ini saja."

"Ibarat penyakit sudah akut, stadiumnya mungkin sudah stadium empat kalau kanker, jadi memang keadaannya berat," ujar Arsul dalam diskusi Overkapasitas Lapas, RUU Pemasyarakatan Dibutuhkan di Jakarta, Selasa (14/9/2021).

Baca juga: Polisi Masih Lakukan Pendalaman Dugaan Unsur Kesengajaan dalam Kebakaran Lapas Tangerang

Pemerintah sempat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan atas UU Pemasyarakatan pada 2018 lalu sebagai solusi persoalan overkapasitas lapas. 

Arsul menilai masalah ini harus diselesaikan dengan pendekatan sistemik yang berbasis teori sistem. Di dalamnya terdapat tiga hal yang harus dibereskan, antara lain struktur hukum, regulasi atau substansi hukum, dan budaya hukumnya.

Baca juga: Sudah 11 Jam, Polisi Masih Periksa Kalapas Tangerang

Menurutnya, budaya hukum sangat mempengaruhi masalah overkapasitas. Budaya penegakan hukum saat ini, lanjutnya, belum murni dan konsekuens sesuai politik hukum yang diterapkan.

Baca juga: 16 Jenazah Korban Kebakaran Lapas Tangerang Belum Teridentifikasi, Polri Targetkan Pekan Ini Rampung

Arsul mencontohkan warga binaan kasus narkotika menyumbang lebih dari setengah jumlah warga binaan di Indonesia.

Merujuk pada UU Narkotika ditegaskan bahwa pengguna atau penyalahguna narkoba tetap menjalani proses hukum namun dengan tujuan rehabilitasi.

Hanya saja implementasinya berbeda jauh, dengan mereka tetap diproses hukum hingga berujung bui. Dimana akhirnya hal ini menyebabkan overkapasitas di lapas-lapas.

"Penegak hukum kita belum melaksanakan ini secara murni, konsekuen dan konsisten. Apalagi yang di daerah-daerah meski hanya pengguna, tapi tetap diproses hukum."

"Padahal kalau penegakan hukum kita sesuai dengan politik hukum kita di narkotika, maka Overkapasitasnya akan sangat banyak bisa dikurangi. Kalaupun masih, hanya 10-15% atau paling tinggi-tingginya 20 persen," katanya.

Nasib RUU Pemasyarakatan

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta menegaskan RUU Pemasyarakatan luar biasa penting untuk disahkan demi mengatasi persoalan lapas.

"UU Pemasyarakatan ini menurut saya luar biasa penting. Karena salah satu yang menyebabkan kejadian ini (overkapasitas lapas) entah berapa persennya tapi ya karena UU ini nggak atau belum disahkan," kata I Wayan Sudirta.

Meski demikian, I Wayan Sudirta menilai beberapa UU lain disebutnya juga turut andil menyebabkan masalah. Karenanya, perlu pula untuk merevisi kepada UU lain guna mengurangi potensi munculnya masalah-masalah di lapas.

"Kalau kita mau jujur bukan hanya UU Pemasyarakatan yang menjadikan kita semua seperti ini. Tadi sudah disinggung UU Narkoba, kemudian yang ketiga itu KUHAP yang selalu menitikberatkan kepastian hukum dan hak asasi manusia," ungkapnya.

Dia menilai selama ini KUHAP hanya menitikberatkan kepastian hukum dan hak asasi manusia. Padahal menurut Gustav Radbruch, tujuan hukum ada tiga, yaitu keadilan, kepastian hukum dan manfaat.

Sehingga KUHAP pun harus segera direvisi dengan semangat kenegarawanan. Dengan begitu, sistem peradilan yang ada juga akan melahirkan subsistem yang sesuai.

"Lapas itu contoh subsistem, kejadian seperti ini karena sistemnya yang kurang beres. Jadi KUHAP harus direvisi, KUHP harus direvisi, UU Narkoba harus direvisi dan UU Pemasyarakatan harus direvisi," tambahnya.

Arsul menyebut RUU Pemasyarakatan sebenarnya sudah diputuskan pada pembahasan tingkat pertama pada periode lalu. Komisi III DPR RI dan Menteri Hukum dan HAM mewakili pemerintah sudah sepakat untuk dilanjutkan.

Namun UU Pemasyarakatan kemudian diputuskan di-carry over, ketika fokus masyarakat dan wakil rakyat justru berubah kepada revisi UU KPK.

"Jadi ya memang aneh bin ajaib di Senayan ini. Yang ditolak kan sebetulnya lebih banyak revisi UU KPK, tetapi RUU KPK-nya malah jadi undang-undang, yang ini (UU Pemasyarakatan) ditolak dikit-dikit saja malah nggak jadi," kata Arsul.

Senada, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Golkar Adies Kadir mengatakan pihaknya sampai sudah berkirim surat hingga lima kali kepada Kemenkumham untuk segera mulai membahas kembali UU Pemasyarakatan.

"Tetapi kembali lagi pemerintah menjawab belum siap untuk melakukan pembahasan tersebut, termasuk juga KUHP. Di RUU KUHP ini saja sudah 3 atau 4 periode baru selesai, ini diajukan lagi, mau berapa tahun selesai? Jadi kami akan memanggil lagi nanti Menkumham dalam rapat menanyakan tindak lanjut ini," kata Adies.

Bangun Lapas Baru?

Adies menegaskan masalah overkapasitas lapas tidak bisa diselesaikan dengan membangun lapas baru.

Baginya pembangunan lapas baru bukan menjadi solusi, tapi justru menambah masalah baru, yakni persoalan sumber daya manusia (SDM) yang bertugas sebagai sipir.

"Apakah dengan dibangunnya lapas baru itu akan menyelesaikan overkapasitas? Menurut hemat saya ya belum tentu itu akan menjadi solusi. Kalau kita menambah lapas, maka harus nambah SDM juga," kata dia.

"Setiap lapas satu orang sipir itu berbanding 30 sampai dengan 150 warga binaan. Coba bayangkan satu orang menjaga 100 orang warga binaan, kan nggak masuk akal," jelas Adies.

Pemerintah diminta benar-benar memberikan atensi. Salah satunya dengan menekankan adanya pembicaraan yang terintegrasi. Mulai dari pemerintah hingga ke jajaran dibawahnya seperti polisi, jaksa dan lain sebagainya.

"Jadi memang penanganannya tidak bisa hanya diurus oleh lembaga pemasyarakatan saja, tapi harus ada pembicaraan yang terintegrasi," imbuhnya. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini