TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) menolak hasil temuan dari Ombudsman Indonesia (RI) yang menyatakan TWK maladministrasi.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengatakan seharusnya KPK dan BKN melakukan tindakan korektif, setelah tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat alih status pegawai dinyatakan maladministrasi oleh Ombudsman RI.
Namun bukan tindakan korektif yang dilakukan atau melakukan perbaikan, malah ada keberatan dari KPK dan BKN.
“Saya sampaikan, dalam sejarah perjalanan ombudsman, inilah pertama kalinya dimana pihak terlapor menyampaikan keberatan. Baru pada kasus ini,” kata Robert di dialog yang dilakukan ICW pada Minggu (19/9/2021).
Baca juga: Dukung KPK Pecat 56 Pegawai Tak Lolos TWK, Begini Cuitan Fahri Hamzah di Media Sosial
Robert mengatakan ruang untuk menyampaikan catatan dan keberatan memang dipersiapkan oleh Ombudsman sebagai hak prosedural bagi para pihak, termasuk pihak terlapor.
Namun baru kali ini pihaknya menerima keberatan dari pihak terlapor.
Robert menjelaskan dalam konstruksi ombudsman, pihak pelapor itu biasanya berada di posisi korban yang akan menyatakan keberatan jika hasil temuan ombudsman menyatakan tidak ada maladministrasi.
Namun dalam kasus TWK pegawai KPK, pihak terlapor justru yang menyatakan keberatan, yang mana KPK dan BKN merupakan pihak terlapor.
“Kami juga kaget terus terang. Meskipun ruangnya kita siapkan untuk hak prosedural tersebut. Tapi kami kaget karena KPK dan BKN menggunakan itu, dimana posisi mereka adalah pihak terlapor. Tapi oke, kita hormati itu,” lanjutnya.
Baca juga: Jokowi Ogah Campuri Kasus TWK, Akademisi: Saat Diminta Jadi Saksi Nikah Influencer Langsung Bergegas
Setelah keberatan itu diterima, Ombudsman RI segera melakukan resolusi monitoring untuk merespon sekaligus menindaklanjuti.
Dalam kerangka tersebut, ombudsman terus melakukan monitoring pada para pihak, sejauh mana tindakan korektif itu dilakukan, kemudian melakukan konfirmasi.
Ombudsman juga menyerahkan surat rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani, mengenai temuan polemik asesmen TWK pegawai KPK.
Robert mengatakan bahwa rekomendasi adalah produk pamungkas Ombudsman atau sebagai mahkotanya.
“Ombudsman sangat jarang itu sampai pada tingkat mahkota, atau pada tahap rekomendasi. Banyak kasus selesai di laporan akhir pemeriksaan. Karena tindakan korektif muncul,” ujarnya.
Baca juga: Amnesty Desak Presiden Jokowi Jalankan Rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM Soal TWK KPK
Namun pada kasus TWK pegawai KPK harus berujung pada penyerahan surat rekomendasi atasan pihak terlapor, yakni Presiden dan DPR, karena prosedur mengarahkan Ombudsman melakukan hal tersebut.
Sehingga menurutnya Presiden tidak bisa mengabaikan surat rekomendasi tersebut.
“Ini bukan kemauan Ombudsman, ini perintah undang-undang,” ujarnya.