TRIBUNNEWS.COM - Selain pandemi Covid-19, perubahan iklim dapat menjadi tantangan ekonomi dalam jangka menengah panjang, sehingga menjadi perhatian utama banyak negara di dunia. Isu perubahan iklim yang mengemuka adalah meningkatnya suhu bumi sebesar 2,5 hingga 4,7 derajat Celcius di tahun 2100 akibat peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK).
Salah satu upaya untuk mengantisipasi hal ini adalah melalui penandatanganan Paris Agreement oleh 196 negara. Perjanjian ini merupakan bentuk komitmen dunia dalam memperkuat penanganan global terhadap ancaman perubahan iklim.
Dorongan positif juga datang dari sektor-sektor usaha yang berkaitan dengan energi baru dan terbarukan (EBT). Sektor EBT juga menjadi salah satu pendorong pemulihan ekonomi nasional ke arah yang lebih baik lagi di masa depan.
“Untuk itu, Pemerintah telah menetapkan ekonomi hijau sebagai salah satu strategi utama transformasi ekonomi dalam jangka menengah panjang. Strategi ini juga akan membantu Indonesia dalam mewujudkan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs. Terobosan-terobosan baru sangat diperlukan untuk bisa melakukan lompatan dalam mencapai target SDGs ini, terutama dalam masa pandemi,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam acara INDY Fest 2021 bertema “Net-Zero Emissions” di Jakarta, Selasa (19/10).
Pemerintah juga telah menetapkan arah kebijakan melalui Pembangunan Rendah Karbon. Hal ini dilakukan melalui penurunan dan intensitas emisi pada bidang prioritas meliputi energi, lahan, limbah, industri, dan kelautan. Melalui Nationally Determined Contributions (NDC), Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan kemampuan sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2030 dari kondisi business as usual. Penurunan emisi GRK tersebut terutama akan didorong pada sektor Agriculture, Forest, and Land Use (AFOLU) serta energi.
Penerapan Pembangunan Rendah Karbon juga diharapkan dapat terus menekan emisi hingga 34% - 41% di 2045 melalui pengembangan EBT, perlindungan hutan dan lahan gambut, peningkatan produktivitas lahan, dan penanganan limbah terpadu.
“Net-zero emissions adalah target yang ingin digapai Pemerintah di 2060 mendatang dan kami juga telah mencantumkannya dalam penyampaian dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC),” tutur Menko Airlangga.
Penguatan komitmen Indonesia untuk mencapai berbagai target tersebut menjadi sangat krusial menjelang pelaksanaan COP26 di Glasgow Skotlandia. Di sini, peran pembiayaan hijau menjadi sangat krusial. Pemerintah telah mendorong pengembangan berbagai instrumen pembiayaan hijau, di antaranya melalui Green Sukuk. Green Sukuk edisi 2020 mencapai US$2,5 miliar, sementara permintaan yang diperoleh sebesar 6,7 kali lipatnya atau jauh di atas target pemerintah di tengah kondisi pasar yang volatile ini.
“Beberapa pemanfaatan refinancing Green Sukuk yang telah dilakukan adalah dengan pengembangan dan pembangunan fasilitas dan infrastruktur energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya, mikrohidro dan minihidro. Dengan pembangunan proyek-proyek ini nantinya dapat dihitung berapa besar pengurangan emisi CO2e yang dapat dicapai,” ungkap Menko Airlangga.
Tidak terbatas pada pembiayaan APBN saja, instrumen alternatif seperti blended finance juga telah disiapkan untuk memperkuat skema pembiayaan dengan menampung dana dari swasta serta donor internasional untuk kegiatan pengembangan energi terbarukan dan mitigasi perubahan iklim. Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) juga telah didirikan oleh Pemerintah pada 2019 untuk membantu meningkatkan kualitas pembiayaan pada program ekonomi hijau.
Di saat yang sama, Pemerintah juga terus meningkatkan kerja sama pembiayaan hijau dengan lembaga internasional. Beberapa program EBT di Indonesia telah terbantu dengan dukungan pembiayaan dari lembaga-lembaga yang berbentuk Development Finance Institution (DFI) dan Export Credit Agency (ECA).
Dari sektor keuangan, penerapan ekonomi hijau telah didorong melalui Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025) yang telah dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Roadmap ini menjadi kerangka acuan bagi lembaga keuangan untuk berperan aktif dan berkontribusi positif dalam proses pembangunan ekonomi hijau sehingga dapat mengakomodir kebutuhan pembiayaan dan investasi di sektor terkait.
Dalam aspek regulasi, saat ini kita sudah mempunyai UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja yang menyempurnakan berbagai UU lintas sektoral. Khusus untuk Lingkungan Hidup dan Kehutanan, UU yang disempurnakan adalah UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
“Tujuan utama regulasi ini adalah menciptakan kemudahan ekosistem berusaha, tanpa mengesampingkan standar, nilai-nilai keselamatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan. Salah satu implementasi UU ini adalah melalui sistem perizinan berbasis risiko (OSS-RBA) yang telah diluncurkan pada tanggal 9 Agustus 2021 lalu,” ucap Airlangga.
Pemerintah juga telah membentuk Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Invesment Authority (INA). Lembaga ini berguna untuk memberikan alternatif investasi terhadap pembangunan ekonomi hijau. INA juga akan berperan dalam mengembangkan peluang investasi di berbagai sektor utama, termasuk infrastruktur digital sehingga dapat mendukung pembangunan secara berkelanjutan.
“Investasi yang dikelola oleh INA diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, mendukung penciptaan lapangan kerja, dan mendorong transisi menuju ekonomi baru yang berbasis digital. Pemerintah akan segera mengalokasikan modal tambahan sebesar Rp60 triliun untuk mendukung optimalisasi INA bagi perekonomian,” tutup Menko Airlangga.(*)