"Jadi, pesan saya, kepada seluruh pesantren se-Indonesia, untuk tidak ragu menerima aliran dana abadi pesantren. Karena dana abadi pesantren itu hukumnya halâlan thayyiban, halal dan baik,” tegasnya.
Namun demikian, Kiyai Asnawi memberikan catatan khusus terkait penyaluran dana abadi pesantren. Pertama, dana abadi pesantren harus disalurkan kepada pesantren yang benar-benar membutuhkan, bukan kepada pesantren yang sudah berkecukupan. Kedua, tidak disalurkan atas dasar kepentingan politik.
Ketiga, dalam penyalurannya harus dibersihkan dari praktik pungli. Keempat, dalam penyalurannya harus dibersihkan dari unsur suap atau risywah. Kelima, tidak disalurkan kepada pesantren yang terindikasi berpaham anti-NKRI.
Menurut Direktur Nahrawi Center Ustadzah Amirah Nahrawi bahwa Pepres dana abadi pesantren perlu terus dikawal, dan diambil dari dana APBN tersendiri.
Baca juga: Gus Rozin Dorong Transformasi Digital Santri
Kyai Muhammad Didit Sholeh, divisi Qanuniyah LBM PWNU DKI Jakarta, juga menyatakan bahwa perpres tersebut pada satu sisi menggambarkan posisi negara mengakui eksistensi pesantren sebagai oase yang melahirkan pemikir dan pemimpin yang menanamkan visi kebangsaan dan keislaman.
Pada sisi lain tantangan bagi pesantren untuk membangun tata kelola keuangan pesantren yang akuntabel serta tetap sebagai kekuatan mandiri yang tidak tumpul daya kritisnya.
Direktur Aliansi Ibu Nyai Nusantara (AINUN) Nyai Hj. Dalliya Hadlirotal Qudsiyah, mengamini pendapat Kiyai Asnawi Ridwan dan Kiyai Mukti Ali Qusyairi. Menurutnya, perhatian pemerintah saat ini kepada pesantren sangat besar.
Tetapi yang tidak kalah penting adalah perlunya pemerintah mendengarkan suara-suara perempuan pesantren. Sebut saja, misalnya, dalam hal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Sejauh ini, menurut Nyai Dalliya, pemerintah mendengarkan suara-suara perempuan dari berbagai kalangan, termasuk perempuan pesantren. Hal ini perlu mendapatkan apresiasi.
Dan karena RUU PKS masih belum disahkan sampai saat ini, Nyai Dalliya berharap perempuan pesantren terus dilibatkan di dalam forum-forum pembahasan agar dapat mengkaji RUU PKS tersebut dari sudut pandang pemahaman keagamaan yang lebih jernih, tanpa ada kepentingan terselubung, dan jangan sampai ada di dalamnya mengandung kerusakan bagi rumah tangga dan kerusakan hubungan anak dan orangtua.
Merespon pihak-pihak yang menolak dana abadi pesantren, dosen UNUSIA K.H. Zainul Maarif, M.Hum menyebut ada dua kelompok. Pertama, pesantren yang anti-pemerintah yang secara umum direpresentasikan oleh pesantren-pesantren beraliran Islam radikal. Kedua, pesantren yang dipimpin oleh kiyai yang karena kezuhudannya tidak mau menerima dana dari pihak luar, termasuk dana dari pemerintah.
“Saya kira ada dua kelompok yang menolak menerima dana dari pemerintah, yaitu kelompok anti-pemerintah, mereka membenci pemerintah sehingga tidak mau menerima dana dari pemerintah. Biasanya mereka berasal dari kelempok Islam yang agak keras.
Kemudian juga pesantren yang dipimpin oleh seorang kiyai yang sangat zuhud dan tidak mau mendapatkan bantuan dari pemerintah. Ada juga pesantren yang seperti ini,” kata Kiyai Zainul Maarif yang juga pengajar di Pondok Pesantren Ciganjur.
Selain itu, Kiyai Zainal Maarif, pada masa pandemi ini, persoalan pendidikan tidak boleh dilupakan. Sejak akhir tahun 2020, banyak sekolah baik negeri maupun swasta yang terpaksa tutup karena pandemi, sehingga membuat anak-anak didik sangat minim menerima pelajaran.