TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengumpulan iuran dari sektor pekerja informal masih menjadi tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan Program JKN-KIS. Tantangan ini tidak hanya terjadi pada Program JKN-KIS di Indonesia, melainkan juga terjadi pada program asuransi kesehatan sosial di negara lain yang komposisi pekerjanya didominasi pekerja informal. Hal tersebut diungkapkan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti dalam acara webinar dan diskusi publik bertajuk “Menggali Potensi Solusi Keadilan dalam Pembiayaan JKN” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Kamis (21/10).
“Struktur pekerja di Indonesia masih didominasi pekerja sektor informal, yaitu 60 berbanding 40. Tingginya proporsi pekerja informal dibandingkan pekerja formal tentu berpengaruh dalam penyelenggaraan program asuransi kesehatan sosial seperti JKN-KIS yang mengandalkan pembiayaan dari iuran peserta. Pengumpulan iuran dari pekerja informal adalah pekerjaan berat mengingat penghasilan mereka fluktuatif,” katanya.
Dalam kepesertaan JKN-KIS, Ghufron menjelaskan, pekerja informal tersebut masuk dalam segmen peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Untuk mengatasi tantangan tersebut, berbagai upaya dan inovasi telah dilakukan BPJS Kesehatan, seperti menambah jumlah dan alternatif pembayaran; memberlakukan autodebit; serta melakukan penagihan melalui Kader JKN, agen institusi, dan telecollecting. Di samping itu, BPJS Kesehatan juga melibatkan masyarakat perorangan maupun badan usaha untuk berpartisipasi membantu membayari iuran peserta JKN-KIS PBPU dan BP yang membutuhkan melalui program donasi dan Corporate Social Responsibility (CSR).
“Program asuransi kesehatan sosial dapat berjalan lebih optimal jika struktur pekerja didominasi pekerja formal yang memiliki penghasilan stabil, tercatat, dan mudah dikumpulkan. Prinsip asuransi sosial mengutamakan gotong royong dan subsidi antara peserta yang sehat dan yang sakit tanpa melihat segmentasi peserta. Oleh karena itu, kami berupaya memperkuat strategi kepatuhan membayar iuran bagi peserta PBPU, sehingga peserta membayar iuran tidak hanya pada saat sakit saja namun dapat membayar secara rutin,” ujar Ghufron.
Ghufron juga mengatakan, kewenangan BPJS Kesehatan terbatas pada melakukan kegiatan pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan pembayaran iuran. Sementara pemberian sanksi berupa tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu harus dilakukan oleh institusi berwenang lainnya yang berada di bawah kendali pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah. Oleh karena itu, diperlukan penguatan sinergi dan kolaborasi antarinstansi sesuai dengan tupoksi masing-masing.
“Karenanya hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Regulasi turunan yang lebih spesifik terkait mekanisme pengenaan sanksi administratif harus segera disusun dan ditetapkan, termasuk mengatur peranan instansi-instansi terkait di mana layanan publik diberikan,” ucapnya.
Diskusi publik yang digelar daring tersebut juga dihadiri oleh berbagai pembicara, diantaranya Kalsum Komaryani; Kementerian Kesehatan, Asih Eka Putri; Dewan Jaminan Sosial Nasional, Ronald Yusuf; Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI, dan Hasbullah Thabrani; USAID Health Financing Activity (HFA) yang bertindak sebagai moderator.