Di era ini, kegoncangan tersebut pun dirasakan di masyarakat, khususnya secara sosial ekonomi dan budaya terjadi pada generasi muda.
Baca juga: Menpora: Di Tangan Pemuda Kita Berharap Indonesia Bangkit dari Keterpurukan Akibat Pandemi
"Akibat digitalisasi, pekerjaan lama banyak yang menjadi tidak relevan, saat ini sampai 10 tahun mendatang, artinya akan ada transformasi besar," ungkap Oky.
"Untuk itu mereka (anak muda) harus bersiap dan dipersiapkan. Diri mereka sendiri, individu maupun komunitas, serta negara juga harus berperan mempersiapkan anak bangsa, terkait kesiapan sumber daya manusia, pendidikan, akses pekerjaan, keterampilan, kesehatan, dan tentunya mentalitas," imbuhnya.
Di masa pandemi ini problemnya bertambah rumit, ekonomi stagnan bahkan melemah, banyak terjadi PHK.
Transformasi digitalisasi menjadi semakin keniscayaan karena banyak perubahan dalam perilaku berekonomi akibat pandemi menghindari tatap muka dan kerumunan.
Akibatnya percepatan ke arah new economy menjadi semakin tak terhindarkan.
Menghadapi situasi ini, anak muda mau tidak mau membutuhkan sebuah kesadaran bersama dan komitmen untuk membangun kebersamaan menghadapi tantangan zaman.
Lantas, bagaimana mewujudkannya?
Menurut Oky, negara harus berperan.
Namun peran negara bisa relevan, bisa juga tidak, tergantung kemampuan, kesigapan dan soliditas negara untuk melayani dan beradaptasi.
Pertanyaannya adalah apakah negara mampu membersamai perjuangan anak muda dalam menghadapi situasi ini?
Namun perkembangan zaman tidak bisa menunggu kemampuan adaptif suatu negara.
"Dulu Sumpah Pemuda 1928, negara Hindia-Belanda tidak support, namun anak muda saat itu, anak-anak zaman, tetap terus berjuang dan beradaptasi, semangatnya adalah pergerakan untuk kemerdekaan."
"Sumpah Pemuda 1928 berhasil mewujudkan kebersamaan, keberanian untuk bersatu dalam tekad merdeka meski situasinya riilnya berbeda-beda dan penuh tekanan kolonialisme."