TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa hari terakhir, ruang diskusi publik diramaikan dengan perdebatan seputar proses fit-and-proper test atau uji kelayakan dan kepatutan calon panglima TNI Jenderal Andika Perkasa oleh Komisi I DPR RI.
Secara historis, pelaksanaan uji kelayakan Panglima TNI berawal dari upaya untuk menghindari adanya dominasi rezim berkuasa terhadap Panglima TNI , seperti yang terjadi pada era orde baru.
"Harapannya tentu persetujuan DPR bagi calon Panglima TNI akan menjadi faktor yang mengimbangi kekuasaan pemerintah (eksekutif) atas TNI," kata anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin, Senin (8/11).
Meskipun demikian, kata dia, pada dasarnya mekanisme uji kelayakan calon Panglima TNI tidak diperlukan.
Hal ini dikarenakan beberapa alasan, yakni pertama, dalam UU No.34/2004 tentang TNI tidak ada aturan secara eksplisit tentang uji kepatutan dan kelayakan bagi calon panglima TNI. Pasal 13 butir 2 UU TNI hanya menyatakan bahwa “Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Baca juga: Gaji dan Tunjangan Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI, Tak Kurang dari Rp48 Juta Per Bulan
Kemudian pada bagian penjelasan pasal 13 butir 2 disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat adalah pendapat berdasarkan alasan dan pertimbangan yang kuat tentang aspek moral dan kepribadian berdasarkan rekam jejak.”
"Artinya, klausa “persetujuan DPR” tidak harus melalui sebuah mekanisme yang disebut Uji kelayakan seperti yang lazim dilaksanakan saat ini," beber politisi PDI Perjuangan ini.
Selain itu, mekanisme uji kelayakan calon Panglima TNI juga tidak sejalan dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI tahun 2020. Pasal 226 Tatib DPR 2020 menyebutkan bahwa:
Butir (1) Dalam hal peraturan perundang-undangan menentukan agar DPR mengajukan, memberikan persetujuan, atau memberikan pertimbangan atas calon untuk mengisi suatu jabatan, rapat paripurna DPR menugasi Badan Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya kepada komisi terkait.
Butir (2) Tata cara pelaksanaan seleksi dan pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh komisi yang bersangkutan meliputi:
Baca juga: Legislator PKS Sebut 3 Pekerjaan Rumah Jenderal Andika Perkasa Sebagai Panglima TNI, Apa Saja?
a. penelitian administrasi
b. penyampaian visi dan misi;
c. uji kelayakan (fit and proper test);
d. penentuan urutan calon; dan/atau
e. pemberitahuan kepada publik, baik melalui media cetak maupun media elektronik.
Butir (3). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dikecualikan terhadap pengisian jabatan yang oleh undang-undang ditentukan hanya memberikan persetujuan.
Mengacu pada Pasal 13 Butir 2 UU TNI yang menyebutkan frase “persetujuan DPR” dan butir 3 dalam Pasal 226 Tata Tertib DPR RI tahun 2020 diatas maka sebenarnya tidak perlu ada mekanisme uji kelayakan bagi calon Panglima TNI karena sifatnya hanya memberikan persetujuan (dikecualikan).
"Kemudian yang kedua,
jika tujuannya untuk mengimbangi kekuasaan legislatif dalam penetapan Panglima TNI maka sebenarnya tidak perlu melalui uji kelayakan. DPR bisa melakukan fungsi pengawasan saja melalui mekanisme rapat kerja komisi I DPR RI dengan Panglima TNI terpilih," tutur Hasanuddin.
Dan alasan ketiga, ungkapnya, uji kelayakan malah berpotensi menimbulkan politisasi dan kegaduhan politik yang lebih luas.
Menurutnya, selama ini Presiden selalu mengajukan calon tunggal Panglima TNI berdasarkan hak perogeratifnya , jadi secara sustansial tidak perlu ada uji kelayakan.
"Bahkan kalau perlu tidak perlu mendapatkan persetujuan dari DPR , seperti juga misalnya untuk jabatan strategis Menteri Pertahanan," tandasnya. (*)