TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Demokrat KLB Deli Serdang menyampaikan sikap resmi terkait pernyataan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menyebut nama Kepala Staf Presiden atau KSP di dalam konflik internal Partai Demokrat.
Juru Bicara Partai Demokrat KLB Deli Serdang, Muhammad Rahmad mengatakan, pernyataan AHY tersebut adalah keliru dan tidak dapat dibenarkan.
Rahmad mengatakan Kepala Staf Presiden atau KSP adalah nama jabatan dalam lembaga kepresidenan di bawah kendali Presiden, dan Kepala Staf Presiden itu diangkat oleh Presiden.
"Dengan menyebut nama jabatan Kepala Staf Presiden, maka AHY telah menyeret lembaga kepresidenan dalam konflik Partai Demokrat yang di dalam berbagai kesempatan disebut pihak AHY sebagai pelaku kudeta dan pembegal Partai Demokrat," kata Muhammad Rahmad dalam pernyataan resminya, Jumat (12/11/2021).
Rahmad menjelaskan, Presiden Jokowi menugaskan Moeldoko dalam jabatan sebagai Kepala Staf Presiden, adalah karena kompetensi dan prestasi cemerlang Moeldoko secara pribadi.
"Dan itu tidak ada kaitannya dengan posisi Pak Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang," tegasnya.
Moeldoko menurut Rahmad, menerima jabatan Ketua Umum bukan atas kemauan sendiri, dan bukan pula atas perintah Presiden sebagai atasan.
"Tapi itu adalah atas permintaan kader-kader Partai Demokrat di Kongres Luar Biasa, di Deli Serdang," ujarnya.
Baca juga: Kuasa Hukum Demokrat Soal Gugatan Moeldoko Cs ke PTUN : Langkah Itu Tidak Tepat
Moeldoko kata Rahmad, menerima amanah sebagai Ketua Umum adalah atas nama pribadi, dan tidak ada kaitannya dengan jabatannya sebagai Kepala Staf Presiden.
Hal itu sama halnya ketika SBY sebagai presiden dua periode dari tahun 2004 sampai 2014, dan pada saat yang bersamaan, SBY juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
"Secara tegas disampaikan SBY waktu itu bahwa SBY sebagai Presiden tidak ada kaitannya dengan tugas SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Dan hal itu sudah menjadi sebuah keyakinan mendasar bagi Partai Demokrat," ujarnya.
Disamping itu, kata Rahmad, Menko Polhukam Mahfud MD dan Menkumham Yasonna Laoly juga telah menyampaikan berkali-kali secara terbuka, bahwa Pemerintahan Presiden Jokowi tidak pernah terlibat dan tidak ada urusan dengan konflik internal Partai Demokrat.
"Hal itu tentu pula termasuk Lembaga kepresidenan, karena Lembaga kepresidenan adalah di bawah kendali Presiden dan bagian dari Pemerintah," kata dia.
Rahmad mengatakan, penegasan Pemerintah itu diabaikan oleh AHY.
AHY dan kubunya terus menyeret lembaga kepresidenan di bawah kendali Presiden Jokowi, kedalam konflik internal Partai Demokrat.
"Dan kali ini, AHY menyuarakannya dari Amerika Serikat. Kita tahu bahwa AHY menemani SBY ke Amerika Serikat untuk berobat yang dibiayai oleh negara di bawah kendali Presiden Jokowi," ujarnya.
Rahmad menilai AHY ingin merusak citra dan mendiskreditkan Pemerintahan Presiden Jokowi.
"AHY sepertinya memiliki target untuk merusak nama baik lembaga kepresidenan dengan menyeret nama Kepala Staf Presiden ke dalam konflik internal Partai Demokrat."
"AHY sepertinya ingin menyeret Lembaga kepresidenan dibawah kendali Bapak Presiden Jokowi, seolah-olah terlibat dalam soal kudeta dan begal politik ditubuh Partai Demokrat," sambungnya.
Rahmad mengarakan, AHY dan pengikutnya, sudah seharusnya menjaga nama baik lembaga kepresidenan yang pernah membesarkan nama SBY, sudah seharusnya menjaga nama baik Presiden Jokowi dan menjaga nama baik negara, apalagi pernyataan itu disampaikan AHY dari Amerika Serikat.
"Jika KLB itu disebut AHY sebagai Kudeta dan Pembegal Politik, maka tentu pelaku kudeta dan pembegal politik itu adalah SBY sendiri. Seperti diketahui, SBY mengambil alih dan menduduki kursi Ketua Umum Partai Demokrat adalah dari hasil KLB di Bali tahun 2013," kata Rahmad
Pembegalan itu kata Rahmad, berlanjut dengan memanipulasi AD ART Partai Demokrat Tahun 2020 yang memasukkan nama SBY menjadi pendiri Partai Demokrat, berdua dengan almarhum Ventje Rumangkang.
"Padahal, pendiri Partai Demokrat adalah 99 orang, dan didalam akte pendirian Partai Demokrat, SBY tidak termasuk sebagai pendiri," ujarnya.
"Setelah Pak Ventje Rumangkang meninggal dunia, seolah-olah, pewaris utama Partai Demokrat tinggal satu orang, yaitu SBY."
Rahmad menambahkan, ketika maju menjadi calon Gubernur DKI, AHY yang berpangkat Mayor, diminta SBY untuk keluar dan berhenti sebagai Prajurit TNI. Saat itu, AHY bukanlah kader Partai Demokrat.
Baca juga: Demokrat Berharap Vonis MA soal JR jadi Rujukan Hakim PTUN Putuskan Gugatan kubu KLB Deli Serdang
"AHY ternyata kalah telak di putaran pertama pemilihan Gubernur DKI. Namun kemudian, SBY mengangkat AHY menjadi Ketua Komando Satuan Tugas Bersama atau Kogasma Partai Demokrat, yang strukturnya tidak pernah ada di dalam AD ART."
"Ketika SBY menjadi Ketua Umum, dan AHY menjabat sebagai Ketua Kogasma, perolehan suara Partai Demokrat di dalam Pemilu terjun bebas."
"Perolehan suara Partai Demokrat terendah sepanjang sejarah Partai Demokrat berdiri," ujarnya.
Namun menurut Rahmad, SBY tetap berusaha menaikkan kelas AHY menjadi Wakil Ketua Umum, tapi SK AHY sebagai Wakil Ketua Umum tidak pernah ditemukan di dalam Sipol KPU.
Setelah itu kata Rahmad, SBY kemudian menaikkan kelas AHY menjadi Ketua Umum yang menurut pengakuan beberapa pihak yang memiliki hak suara, pemilihan AHY sebagai Ketua Umum itu tidak melewati tatacara sebagaimana layaknya penyelenggaraan Kongres Partai Demokrat.
"AHY dengan kekuasaannya yang berlindung di bawah AD ART Partai Demokrat Tahun 2020, telah membawa Partai Demokrat ke dalam tradisi tirani, oligarki, totaliter dan otokrasi," ujarnya.
"AHY menutup ruang perbedaan pendapat, memecat kader jika tidak sejalan," ujar dia.
"Oleh sebab itu, kami mengimbau AHY dan pengikutnya untuk berhenti mengelabui rakyat, berhenti memutar balikkan kenyataan. Mari kita bersikap kesatria, gentlemen, sportif dan jujur," kata Rahmad.
Moeldoko Tak Punya Hak Mengganggu Demokrat
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyambut gembira atas ditolaknya gugatan AD/ART Partai Demokrat oleh Mahkamah Agung.
AHY menegaskan kini Moeldoko tak punya hak mengganggu rumah tangga Partai Demokrat.
Baca juga: Sidang Lanjutan PTUN, Demokrat dan Kemenkumham Hadirkan Saksi Ahli Lawan Gugatan Tiga Mantan Kader
AHY mengatakan bahwa sejak awal pihaknya yakin gugatan tersebut akan ditolak karena dinilai tak masuk akal.
"Judicial Review AD ART Partai Demokrat ini hanyalah akal-akalan Pihak KSP Moeldoko, melalui proxy-proxynya, yang dibantu pengacara Yusril Ihza Mahendra," kata AHY dalam konferensi pers melalui video, Rabu (10/11/2021).
Dia mengatakan bahwa langkah Meoldoko dkk ini sangat jelas, yakni melakukan gerakan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat yang sah dan diakui oleh Pemerintah.
"Padahal jika kita analogikan Partai Demokrat ini sebagai aset properti, maka sertifikat yang sah dan diakui pemerintah hanya satu, yakni yang sekarang saya kantongi dan saya pegang mandatnya hingga 2025," kata AHY.
Menurutnya, tidak pernah Moeldoko mendapatkan sertifikat dari pemerintah atas kepemilikan properti itu.
"Jadi tidak ada hak apa pun bagi KSP Moeldoko atas Partai Demokrat. Sekali lagi saya tegaskan, tidak ada haknya KSP Moeldoko mengganggu rumah tangga Partai Demokrat," ujar dia.
Seperti diberitakan, Mahkamah Agung (MA) menolak uji materi atau judicial review terhadap Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat kepengurusan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Hal ini dikonfirmasi oleh juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, kepada Tribunnews.com, Selasa (9/11/2021).
Baca juga: AHY Angkat Bicara Soal Mahkamah Agung Tolak Gugatan Yusril Soal AD ART Partai Demokrat
Perkara itu sendiri tercatat dengan nomor 39 P/HUM/2021. Tertera identitas pemohon yakni Muh Isnaini Widodo dkk melawan Menkumham Yasonna Laoly.
Para pemohon diketahui memberikan kuasa kepada Yusril Ihza Mahendra.
Adapun majelis yang menangani perkara tersebut yakni ketua majelis Supandi dengan anggota Is Sudaryono dan Yodi Martono Wahyunadi.
Objek sengketa perkara tersebut yakni AD/ART Partai Demokrat tahun 2020. AD/ART itu diketahui telah disahkan berdasarkan Keputusan Nomor M.H-09.AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan Perubahan AD ART, pada 18 Mei 2020.
Para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa:
⦁ AD ART Parpol termasuk peraturan perundang-undangan, karena AD ART Parpol merupakan peraturan yang diperintahkan oleh UU 2/2008 jo. UU 2/2011 (UU Parpol) dan dibentuk oleh Parpol sebagai badan hukum publik. Pembentukan AD ART Parpol beserta perubahannya juga harus disahkan oleh Termohon, sehingga proses pembentukannya sama dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UU;
⦁ objek permohonan baik dari segi formil maupun materiil bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu:
1. UU 2/2008 jo. UU 2/2011 (UU Parpol)
2. UU 12/2011 jo. UU 15/2019 (UU PPP), dan
3. Anggaran Dasar Partai Demokrat Tahun 2015
Baca juga: Fraksi Partai Demokrat Gelar Doa Bersama untuk Kesembuhan SBY
Sementara pendapat MA:
MA tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutus objek permohonan, karena AD ART tidak memenuhi unsur sebagai suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 8 UU PPP, sebagai berikut:
• AD ART Parpol bukan norma hukum yang mengikat umum, tetapi hanya mengikat internal Parpol yang bersangkutan;
⦁ Parpol bukanlah lembaga negara, badan atau lembaga yang dibentuk oleh UU atau Pemerintah atas perintah UU;
⦁ tidak ada delegasi dari UU yang memerintahkan Parpol untuk membentuk peraturan perundang-undangan;
"Menyatakan permohonan keberatan HUM dari Para Pemohon tidak dapat diterima," kata juru bicara MA, Andi Samsan Nganro.