Sementara itu, jurnalis perempuan, Fristian Griec mempunyai pendapat berbeda.
Menurut alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung itu, Permendikbud Ristek Nomor 30 menuai polemik lantaran adanya sejumlah klausul yang memuat frasa ’tanpa persetujuan korban’.
”Sebagian pihak menilai melegalkan zina melalui sejumlah klausul yang memuat frasa ’tanpa persetujuan korban’,” tutur mantan jurnalis Kompas TV itu.
Fristian mengungkapkan, dengan penafsiran secara argumentum a contrario (metode penafsiran hukum berdasarkan perlawanan pengertian), mereka yang telah dewasa atau cukup umur menurut hukum, jika menyatakan setuju dan/atau atas kemauannya melakukan suatu perbuatan yang sebelumnya berkategori sebagai kekerasan seksual maka pelakunya tidak lagi dapat terjerat secara hukum.
”Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permendikbud a quo yang memuat sejumlah klausul mengenai ’consent’ ini seharusnya direvisi,” tegasnya.
Alasannya, lanjut Fristian, karena jangan sampai keberadaan sejumlah pasal tersebut menutup mata terhadap banyak pasal lain yang memang penting dan perlu untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Sesungguhnya, dengan membaca secara lengkap dan menyeluruh, maka semangat Permendikbud a quo adalah memberikan perlindungan secara optimal kepada korban kekerasan seksual.
”Salah satunya dengan adanya jaminan keberlanjutan sekolah bagi mahasiswa dan keberlanjutan pekerjaan bagi pendidik maupun tenaga kependidikan yang menjadi korban,” jelas Fristian.
Meski begitu, Fristian berharap polemik Permendikbud a quo dapat menjadi momentum yang menyadarkan semua stake holder bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mendesak untuk mendapat pengesahan menjadi UU.
”Secara hierarkis, RUU PKS memiliki derajat lebih tinggi dibanding Permendikbud yang sedianya mengatur hal-hal yang bersifat teknis,” jelasnya