TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menyelisik dugaan suap jual beli jabatan di Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).
Penyelisikan dilakukan lewat 14 saksi yang diperiksa dalam penyidikan kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten HSU Tahun 2021-2022 dengan tersangka Bupati nonaktif HSU Abdul Wahid (AW).
Pemeriksaan dilakukan pada Selasa (23/11/2021) di Kantor Polres Hulu Sungai Utara.
Adapun identitas saksi yang diperiksa yaitu, Syamsul Hamidan, pemilik CV Agung Perkasa (kontraktor yang biasa mengerjakan pekerjaan di Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara untuk tahun 2021); Barkati/Haji Kati, kontraktor di dinas Bencana Alam (Direktur PT Prima Mitralindo Utama); Marhaidi, kontraktor (Wakil Direktur CV Hanamas); H. Sapuani alias Haji Ulup, pemilik CV Lovita; Abdul Hadi, kontraktor; Hairiyah, PNS/ Kasi Pembangunan dan Peningkatan Pengairan pada Dinas Pekerjaan Umum, Penataan ruang Dan Pertanahan Kabupaten HSU, Kalimantan Selatan.
Berikutnya, Muhammad Sam’ani, wiraswasta/ Direktur PT Sapta Surya Tosan Talina sejak tahun 2007 sampai dengan sekarang; Muhammad Muzakkir, Direktur PT Cahaya Sambang Sejahtera; H. Rusdi, kontraktor; Rakhmadi Effendie alias H. Madi, Direktur PT Seroja Indah Persada; Abdi Rahman, swasta; Yandra, staf SMP Negeri 8 Amuntai; Ina Wahyudiaty, Bapelitbang; dan Thamrin, BPKAD.
Baca juga: Kasus Suap Infrastruktur Bupati HSU Abdul Wahid, KPK Telusuri Indikasi Jual Beli Jabatan
Selain menelusuri dugaan praktik jual beli jabatan, KPK turut mendalami penerimaan fee proyek oleh Abdul Wahid.
"Seluruh saksi hadir dan menerangkan antara lain terkait dengan dugaan penerimaan fee proyek oleh tersangka AW dan juga adanya penerimaan lain berupa uang dari para ASN yang akan menduduki jabatan struktural di Pemkab HSU," kata Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (24/11/2021).
KPK telah mengumumkan Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi pada 18 November 2021.
Penetapan Abdul Wahid sebagai tersangka merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat Maliki selaku pelaksana tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara, Marhaini dari pihak swasta/Direktur CV Hanamas, dan Fachriadi dari pihak swasta/Direktur CV Kalpataru.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan tersangka Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara untuk dua periode (2012-2017 dan 2017-2022) pada awal 2019 menunjuk Maliki sebagai pelaksana tugas Kepala Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh Maliki untuk menduduki jabatan tersebut karena sebelumnya telah ada permintaan oleh tersangka Abdul Wahid.
Penerimaan uang oleh tersangka Abdul Wahid dilakukan di rumah Maliki pada Desember 2018 yang diserahkan langsung oleh Maliki melalui ajudan tersangka Abdul Wahid.
Pada sekitar awal 2021, Maliki menemui tersangka Abdul Wahid di rumah dinas jabatan bupati untuk melaporkan terkait plotting paket pekerjaan lelang pada bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara Tahun 2021.
Dalam dokumen laporan paket plotting pekerjaan tersebut, Maliki telah menyusun sedemikian rupa dan menyebutkan nama-nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek tersebut.
Selanjutnya, tersangka Abdul Wahid menyetujui paket plotting tersebut dengan syarat adanya pemberian komitmen fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee, yaitu 10 persen untuk tersangka Abdul Wahid dan 5 persen untuk Maliki.
Adapun, pemberian komitmen fee yang diduga diterima oleh tersangka Abdul Wahid melalui Maliki, yaitu dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp500 juta.
Selain melalui perantaraan Maliki, tersangka Abdul Wahid juga diduga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPR Kabupaten Hulu Sungai Utara, yaitu pada 2019 sekitar Rp4,6 miliar, pada 2020 sekitar Rp12 miliar, dan pada 2021 sekitar Rp1,8 miliar.