TRIBUNNEWS.COM - Berikut sejarah letusan Gunung Semeru serta material, dampak, dan cara menghindari abu vulkanik.
Gunung Semeru mengalami guguran awan panas pada Sabtu sore (4/12/2021).
Pada pukul 15.20 WIB, material vulkanik terpantau mengarah ke Besuk Kobokan, Desa Sapiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang.
Dikutip dari bnpb.go.id, catatan panjang sejarah erupsi Semeru terekam pada 1818.
Namun, catatan letusan yang terekam pada 1818 hingga 1913 tidak banyak informasi yang terdokumentasikan.
Baca juga: Tips Aman Membersihkan Abu Vulkanik di Rumah dan Mobil: Gunakan Masker hingga Kacamata Pelindung
Sejarah letusan
Aktivitas vulkanik dengan durasi panjang terjadi pada tahun 1941 - 1942.
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), leleran lava terjadi pada periode 21 September 1941 hingga Februari 1942.
Perlu diketahui, dengan ketinggian 1.400 hingga 1.775 meter, letusan sampai di lereng sebelah timur hingga pos pengairan Bantengan tertimbun material vulkanik.
Beberapa aktivitas vulkanik tercatat beruntun pada 1945, 1946, 1947, 1950, 1951, 1952, 1953, 1954, 1955 – 1957, 1958, 1959, dan 1960.
Gunung Semeru, salah satu gunung api aktif kembali melanjutkan aktivitas vulkaniknya, seperti pada 1 Desember 1977.
Dengan jarak hingga 10 km di Besuk Kembar, guguran lava menghasilkan awan panas guguran.
Volume endapan material vulkanik yang teramati mencapai 6,4 juta m3.
Awan panas juga mengarah ke wilayah Besuk Kobokan dengan kondisi sawah, jembatan, dan rumah warga rusak.
Tahun 1978 – 1989, aktivitas vulkanik kembali terjadi dan berlanjut pada 1990, 1992, 1994, 2002, 2004, 2005, 2007 dan 2008.
Beberapa kali erupsi terjadi di tahun 2008, yaitu pada rentang 15 Mei hingga 22 Mei 2008.
Empat kali guguran awan panas terjadi pada 22 Mei 2008 dan mengarah ke wilayah Besuk Kobokan dengan jarak luncur 2.500 meter.
Menurut data PVMBG, aktivitas Gunung Semeru berada di kawah Jonggring Seloko, di sisi tenggara puncak Mahameru.
Karakter letusan Gunung Semeru ini bertipe vulkanian dan strombolian yang terjadi 3-4 kali setiap jam.
Karakter letusan vulcanian berupa letusan eksplosif yang dapat menghancurkan kubah dan lidah lava yang telah terbentuk sebelumnya.
Sementara itu, karakter letusan strombolian biasanya terjadi pembentukan kawan dan lidah lava baru.
Material abu vulkanik
Material yang dihasilkan oleh letusan gunung berapi salah satunya adalah abu vulkanik atau pasir vulkanik atau jatuhan piroklastik bahan material vulkanik.
Material ini disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan dan terdiri dari batuan berukuran besar sampai berukuran halus.
Melansir dpr.go.id, batuan yang berukuran besar (bongkah-kerikil) biasanya jatuh di sekitar kawah sampai radius 5 hingga 7 km dari kawah.
Sementara itu, material berukuran halus dapat jatuh dengan jarak mencapai ratusan bahkan ribuan kilometer dari kawah, tergantung pada kecepatan angin.
Hasil penelitian menunjukkan, abu vulkanik mengandung unsur mayor (aluminium, silika, kalium dan besi), unsur minor (iodium, magnesium, mangan, natrium, pospor, sulfur dan titanium), dan tingkat trace (aurum, asbes, barium, kobalt, krom, tembaga, nikel, plumbum, sulfur, stibium, stannum, stronsium, vanadium, zirconium, dan seng).
Perlu diketahui, lima komposisi kimia tertinggi dari tanah abu vulkanik gunung secara berurutan adalah silikon dioksida 55 persen, aluminium oksida 18 persen, besi oksida 18 persen, kalsium oksida 8 persen, dan magnesium oksida 2,5 persen.
Dampak bagi lingkungan
1. Abu vulkanik yang membentuk awan panas, baik karena temperaturnya maupun kandungannya, dapat berefek mematikan dan bersifat toksik, baik bagi manusia, tumbuhan, maupun hewan.
2. Komposisi kimia dari abu vulkanik yang bersifat asam dapat mencemari air tanah, merusak tumbuh-tumbuhan, dan apabila bersenyawa dengan air hujan dapat menyebabkan hujan asam yang bersifat korosif.
Sifat korosif inilah yang menyebabkan rusaknya berbagai jenis infrastruktur dan utilitas, tidak hanya yang mengandung logam, seperti jembatan, perumahan dan permukiman, tetapi juga berbagai bangunan peninggalan sejarah seperti candi-candi yang banyak tersebar di wilayah Jateng-Jatim.
3. Mengakibatkan terkontaminasinya air bersih, tersumbatnya saluran air, serta rusaknya fasilitas air bersih.
Sumber air dan pasokan air terbuka lainnya, seperti sungai, danau, atau tangki air pun sangat rentan terhadap hujan abu.
4. Abu yang bersifat asam, yang bersenyawa dengan hujan dan menjadi hujan asam, dapat membakar jaringan tanaman.
5. Tercemarnya pasokan air untuk pertanian berisiko besar untuk gagal panen.
6. Erupsi gunung biasanya diikuti dengan peningkatan kondensasi di atmosfer sehingga memicu terjadinya hujan dengan intensitas cukup tinggi.
7. Hujan dengan intensitas tinggi bisa menggelontorkan material vulkanik yang masih tersisa di puncak gunung dan berpotensi menimbulkan banjir ataupun longsor.
8. Jarak pandang berkurang akibat abu vulkanik dan berpotensi menyebabkan kecelakaan, baik pada transportasi udara, darat, maupun laut.
Dampak bagi kesehatan
1. Menyebabkan masalah kesehatan, khususnya menyebabkan iritasi pada paru-paru, kulit dan mata.
2. Beberapa komposisi kimia yang dihasilkan erupsi tersebut, seperti karbon dioksida (CO2), sulfur oksida (SO2), hidrogen sulfida (H2S), gas hidrogen (H2), hidrogen klorida (HCl), hidrogen florida (HF), dan helium (He), menyebabkan:
- Sakit kepala;
- Pusing;
- Diare;
- Bronchitis (radang saluran nafas);
- Bronchopneumonia (radang jaringan paru);
- Iritasi selaput lendir saluran pernafasan;
- Iritasi kulit;
- Mempengaruhi gigi dan tulang.
Gangguan kesehatan ini bisa berakibat karena paparan akut dengan jangka pendek atau dalam beberapa hari dan jangka panjang dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan.
3. Gejala pernapasan akut yang sering dilaporkan oleh masyarakat setelah gunung mengeluarkan abu adalah iritasi selaput lendir dengan keluhan bersin, pilek dan beringus, iritasi dan sakit tenggorokan (kadang disertai batuk kering), batuk dahak, asma, sesak napas, dan iritasi pada jalur pernapasan.
Gangguan ini akan lebih berat apabila terkena pada orang atau anak yang sebelumnya mempunyai riwayat alergi saluran napas dan bronkitis kronis, emfisema, atau asma.
4. Abu vulkanik yang terhirup dapat merangsang peradangan di paru-paru serta luka di saluran napas.
Luka ini seperti codet di kulit yang akan menyebabkan luka permanen pada alveolus (paru-paru bawah) yang dalam jangka panjang bisa menyebabkan kanker.
5. Kulit tubuh juga bisa terkena dampak abu berupa gatal-gatal, iritasi, dan infeksi, terutama ketika abu vulkanik tersebut bersifat asam.
Kondisi ini bisa juga diakibatkan oleh perubahan kualitas air yang sudah tercemar abu vulkanik.
Cara menghindari abu vulkanik
1. Berada sejauh mungkin dengan lokasi letusan guna menghindari dampak negatif abu vulkanik terhadap kesehatan.
2. Menghentikan konsumsi air dari sumber air yang telah tercemar.
3. Mengurangi aktivitas di luar.
4. Rumah harus dalam keadaan tertutup untuk mencegah masuknya abu dan gas ke dalam rumah.
5. Menggunakan masker atau ditambah alat perlindungan diri yang lainnya, seperti kaca mata untuk mengurangi iritasi abu dengan mata.
6. Debu yang sudah menempel di tanah, bangunan, atau jalan perlu segera dibersihkan dengan metode tertentu untuk menghindari berbagai partikulat yang terbang agar tidak menyebar ke daerah lainnya.
7. Tempat penampungan dan saluran dari sumber air bersih harus segera dibersihkan agar air yang tercemar tidak dikonsumsi oleh masyarakat.
8. Risiko negatif dari abu vulkanik yang sudah terdeposisi dapat diminimalkan dengan memanfaatkan abu tersebut menjadi bahan yang berguna.
Pasir dan abu vulkanik yang mengadung silika dan besi merupakan pasir kualitas terbaik yang dapat dijadikan campuran bahan bangunan berupa bahan beton dan bata ringan.
Demikian juga kandungan kimia dari abu vulkanik yang berguna untuk memperkaya unsur hara tanah sehingga dapat dijadikan pupuk.
9. Memanfaatkan abu vulkanik sebagai penjernih air.
Pola silika pada abu vulkanik yang berujung runcing membuat kemampuan pasir menyerap partikel yang tidak diinginkan jauh lebih baik ketimbang pasir biasa.
(Tribunnews.com/Katarina Retri)
Artikel lainnya terkait Abu Vulkanik