Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus kekerasan perempuan kembali merenggut korban.
Korban kekerasan seksual di Mojokerto, NWR, pun mengakhiri hidup, Kamis (2/12/2021).
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa NWR adalah
korban kekerasan yang bertumpuk dalam durasi hampir dua tahun sejak 2019.
Sebelum berpulang, korban sempat berupaya meminta bantuan untuk menyikapi peristiwa kekerasan yang ia alami.
Korban telah berkonsultasi dengan dua lembaga bantuan hukum di daerahnya.
Dari sana, korban disarankan segera melaporkan tindakan pelaku ke Propam. Komnas Perempuan di pertengahan Agustus 2021.
Komnas Perempuan berhasil menghubungi NWR pada 10 November.
Sebelumnya, Komnas Perempuan telah berupaya menjangkau korban aplikasi whatsapp (WA) dan sempat direspon korban untuk menanyakan prosedur pengaduan. Juga, melalui telepon, tetapi tidak terangkat.
"Pada saat berhasil dihubungi, korban menyampaikan bahwa ia berharap masih bisa dimediasi dengan pelaku dan orang tuanya. Lalu membutuhkan pertolongan konseling karena dampak psikologi yang dirasakannya," ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi lewat konferensi virtual, Senin (6/12/2021).
Setelah mendengarkan keterangan korban, Komnas Perempuan kemudian mengeluarkan surat rujukan pada 18 November 2021 kepada P2TP2A Mojokerto.
Baca juga: Terungkap Fakta Baru, NWR Ternyata Pernah Menghubungi Komnas Perempuan Pada Pertengahan Agustus 2021
Namun karena kapasitas psikolog yang terbatas dan jumlah klien yang banyak maka penjangkauan tidak dapat dilakukan. Sudah dilakukan penjadwalan kembali di awal Desember.
"Berita mengenai korban telah mengakhiri nyawanya menjadi pukulan bagi kita semua, khususnya kami yang berupaya menangani kasus ini," kata Siti Aminah Tardi.
Korban, terjebak dalam siklus kekerasan di dalam pacaran yang menyebabkannya terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.
Saat menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, pacar NWR yang berprofesi sebagai anggota kepolisian memaksanya untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara.
Di antaranya memaksa meminum pil KB, obat-obatan dan jamu-jamuan. Bahkan pemaksaan hubungan seksual karena beranggapan akan dapat menggugurkan janin.
Peristiwa pemaksaan aborsi bahkan terjadi hingga dua kali. Pada kali kedua bahkan korban sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang dan jatuh sakit.
Dalam keterangan korban, pemaksaan aborsi oleh pelaku didukung oleh keluarga pelaku. Awalnya keluarga menghalangi perkawinan pelaku dengan korban dengan alasan masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah.
Lalu sengaja menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi. Di sisi lain, pelaku juga diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain. Namun pelaku bersikeras tidak mau memutuskan relasinya dengan korban.
Baca juga: Kesaksian Penjaga Makam Lihat Mahasiswi NWR sebelum Bunuh Diri: Setiap Hari Datang ke Makam Ayah
Menurut keterangan Komnas Perempuan, selain berdampak pada kesehatan fisik, korban juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat.
Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.
Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, Kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah jenis kasus kekerasan di ruang privat atau personal yang ketiga terbanyak dilaporkan.
Pada kurun 2015-2020 tercatat 11.975 kasus yang dilaporkan oleh berbagai pengada layanan dihampir 34 Provinsi. Yaitu sekitar 20% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat.
Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata 150 kasus per tahun dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Kasus ini seringkali berakhir dengan kebuntuan diproses hukum.
Latar belakang relasi pacaran kerap menyebabkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dianggap sebagai peristiwa suka sama suka.
Dalam konteks pemaksaan aborsi, justru korban yang dikriminalkan sementara pihak laki-laki lepas dari jeratan hukum.
Kasus NWR merupakan salah satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Komnas Perempuan dalam periode Januari-Oktober 2021.
"Ini sudah dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan pada 2020," kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menambahkan.
Di sisi lain Andy menyebutkan sumber daya sangat terbatas, Komnas Perempuan berpacu untuk membenahi sistem untuk penyikapan pengaduan.
Mulai dari verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan dan pemberian rekomendasi. Namun, lonjakan kasusnya sendiri mengakibatkan antrian kasus yang panjang.