Berikut petikan wawancara khusus Tribunnetwork dengan Gus Yahya:
Pengalaman menarik apa yang dialami selama mendampingi Gus Dur dulu?
Saat saya jadi juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid itu memang jabatan resmi tapi mungkin juga ya tidak sepenuhnya resmi, karena pertama waktu itu tak ada nomenklatur jabatan juru bicara.
Yang paling berat buat saya ini nomenklatur buat gaji, sehingga kalau mau mengeluarkan gaji kan harus ada nomenklaturnya.
Nyaris tidak pernah memberikan instruksi-instruksi yang harus dilakukan atau harus disampaikan sebagai pernyataan, sehingga kami bekerja sangat bebas waktu itu dan hanya mengandalkan pengetahuan dan pemahaman kami tentang wawasan pemikiran Gus Dur dan karakter pribadi beliau waktu itu.
Baca juga: Yahya Cholil Staquf: Percayalah Saya Tak Mencalonkan Jadi Presiden
Saya katakan ke semua orang saya ini alumni pondok pesantren Istana Negara, mengaji langsung ke Gus Dur selama 10 bulan.
Pernah nggak mementahkan pendapat Gus Dur?
Jadi ketika saya diangkat, Gus Dur ini kan berteman dekat sekali dengan paman saya Gus Mus. Jadi ketika Gus Dur mengangkat saya jadi juru bicara, beliau mengabari paman saya.
Gus Yahya saya jadikan juru bicara, kata Gus Dur. Paman saya ketawa, nanti jangan-jangan sampean berdebat sama Yahya celaka (Tertawa).
Tapi ya dan Gus Dur bukan hanya terhadap kami bukan hanya demokratis, tapi sudah liberal. Satu nggak pernah nyuruh kamu ke sana sekalian bikin pernyataan.
Jadi, anggota-anggota jubir waktu itu Pak Wimar Witoelar, Mas Adhi Massardi saya sendiri waktu itu dan Pak Darmawan tapi beliau lebih ke fungsi administrasi.
Kira-kira ada nggak menteri yang ingin ngomong sama Gus Dur cuma nggak berani, dan akhirnya lewat Gus Yahya?
Nggak, saya kira yang menjadi sikap Gus Dur sendiri. Cara beliau dalam mengelola orang-orang di sekitar beliau, semua orang bisa langsung menyampaikan kepada Gus Dur tanpa melalui perantara, menteri-menteri dan lain-lain.
Kalau boleh tahu, apa momen yang tak akan Gus Yahya lupakan?