NU Jatim Harus Percaya Diri Ambil Momentum Ajukan Calon Ketum PBNU di Muktamar
Oleh : Khotimi Bahri
TRIBUNNEWS.COM - Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi yang memiliki karakter tersendiri dibandingkan ormas-ormas lain. Sebagai organisasi yang lahir dari rahim pesantren, maka etika santri-kyai begitu mewarnai perjalanan NU. Salah satu adagium yang selalu didengungkan adalah ‘al-adabu fauqal ilmi, atau etika, adab sopan-santun diatas ilmu pengetahuan’.
Ada kecenderungan umum yang berlaku di NU selama ini yaitu relasi patron-klien, karena dianggap sebagai aksentuasi relasi santri-kyai. Relasi patron-klien adalah pola hubungan antara dua komunitas atau individu dimana ada garis demarkasi dan ketidak-setaran baik dari segi status, kewenangan, maupun kekuasaannya.
Cara pandang dan cara sikap seperti ini bukanlah tanpa persoalan. Paling tidak dengan pola relasi seperti ini melahirkan kecenderungan yang determinan dan terpisah antara satu strata dengan strata yang lainnya. Satu sisi relasi ini positif karena mempertahankan tradisi dan etika adiluhung yang masih terawat dari generasi kegenerasi.
Namun, persoalannya adalah, tidak menutup kemungkinan melahirkan konflik interest ketika ada keputusan-keputusan yang bersifat strategis dan organisatoris. Komunitas santri (yang di NU terwadahi dalam strata tanfidziyah) memiliki visi dan identitas yang progresif, dinamis sesuai perkembangan situasi. Penyampaian-penyampaian gagasannyapun kadang tajam dan radikal. Pada sisi lain, komunitas poro sepuh, kyai (yang di NU terwadahi dalam strata syuriah) memakai takaran masa lampau yang mengedepankan nilai-nilai persuasif, safety, passif. Padahal antara tanfidziyah dan syuriah memiliki garis perjuangan yang sama yaitu; keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Bisa dibayangkan, akibatnya adalah lahirnya sikap apriori dan missing-link bagi masing-masing strata. Dan efeknya akan menghambat kesinambungan perjuangan, serta terhambatnya regenerasi. Padahal, bagaimanapun juga, tanfidziyah berhak dan harus mengambil inisiatif untuk menjabarkan artikulasi gerakannya sekaligus mempersiapkan landas-pacu bagi masa mendatang.
Tulisan ini sebenarnya sebuah narasi untuk membaca kasus PWNU Jawa Timur menjelang muktamar NU ke 34. Mengapa Jawa Timur? Ada beberapa alasan yang melatar belakangi tulisan ini. Diantaranya, rasa prihatin yang begitu mendalam terhadap kondisi NU Jawa Timur. Penulis lahir, belajar, dan besar di lingkungan NU Jawa Timur walaupun saat ini berkhidmat di NU Kota Bogor. Prihatin, karena Jawa Timur merupakan wajah NU yang sebenarnya. Ditanah ini NU lahir, dari tanah ini para waliyullah seluruh nusantara menyepakati berdirinya wadah berhimpun Islam Ahlussunnah Waljamaah. Dari Jawa Timur lahir komitmen ulama-ulama dari segala penjuru nusantara untuk menjadi penjaga dan pelanjut warisan agung Wali-Songo. Di pundak PWNU Jawa Timur ada tanggung jawab moral yang tidak ringan.
Namun, pada perhelatan akbar NU dipenghujung usia seabadnya ini, PWNU Jawa Timur menjadi akar konflik dan gegeran yang hampir saja memporak-porandakan perahu NU ini. Berawal dari rekomendasi calon ketua Tanfidz dan Rois Aam PWNU Jawa Timur, genderang masalah mulai ditabuh.
Polarisasi warga NU mulai mengkristal dimana-mana. Bahkan polarisasi diinternal PWNU Jatim juga tidak bisa dihindari. Dan klimaksnya adalah tarik-menarik waktu perhelatan muktamar, sebelum adanya revisi penetapan PPKM level 3 oleh pemerintah. Gergeran ini benar-benar menjadi sejarah baru dalam perjalanan NU diabad pertamanya. Baru kali ini rekomendasi pencalonan ketua tanfidziyah dan rois aam terjadi dimana sebelumnya tidak pernah ada. Baru kali ini ada demo yang diarahkan ke rais aam dimana sebelumnya adalah hal yang tabu. Dan baru kali in ada pelaporan pucuk pimpinan NU ke pihak berwajib oleh pengurus NU. Kabar terbaru beredar tekanan dari PWNU kepada PCNU untuk segera mengusulkan calon anggota AHWA
Maka benar apa yang disampaikan KH. Imam Jazuli dalam artikelnya di Tribunnews.com tanggal 08-12-2021 bahwa jika polarisasi ini dibiarkan berlarut-larut akan sangat berbahaya bagi perahu NU itu sendiri. Oleh karena itu PWNU Jawa Timur punya beban moral sekaligus beban sejarah yang berat. Artinya PWNU Jawa timur harus berani memulai dan harus berani pula mengakhiri polarisasi ini.
Saya sependapat dengan KH. Imam Jazuli, sebagai PWNU yang menjadi barometer PWNU yang lain, Jawa Timur harus segera mengambil momentum. Momentum untuk percaya diri mengajukan calon ketua tanfidz dari Jawa Timur sendiri. Hal ini tidaklah berlebihan karena Jawa Timur merupakan gudangnya tokoh-tokoh NU yang punya kapasitas dan kapabilitas untuk itu. Banyak alternatif yang bisa ditawarkan kepada muktamieirn. Tentu KH. Marzuqi Mustamar yang saat ini menjadi nakhoda PWNU Jawa Timur sangat layak untuk untuk diusung. Sebelumnya Jawa Timur juga memiliki tokoh yang sukses menakhodai PBNU. Sebut saja KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, KH. Hasyim Muzadi adalah figur yang berangkat dari Jawa Timur.
Disamping KH. Marzuqi Mustamar, ada juga KH. Asep Saefuddin Chaliim putera KH. Abdul Haliem Leuwimunding, salah satu muassis NU. Juga ada KH. Hasan Mutawakkil ‘Alallah dari pesantren Zaenul Hasan Genggong Probolinggo. Dari generasi berikutnya ada Gus Reza Lirboyo, Gus Kautsar Ploso, Gus Awis Jombang, Gus Fahrur Malang dan masih banyak lagi kader-kader mumpuni yang layak untuk dijadikan alternatif.
Mengapa PWNU Jawa Timur perlu berani mengambil inisiatif pencalonan? Tentu ada beberapa alasan, yaitu: Pertama, sebagai bentuk tanggung jawab moral setelah munculnya polarisasi yang berawal dari Jawa Timur. Kedua, sebagai tanggung jawab kesejarahan karena dari Jawa Timur wadah Islam Ahlussunnah wal Jamaah terbesar ini lahir. Ketiga, sebagai jawaban atas tuntutan proses regenerasi kader-kader NU di Jawa Timur. Keempat, sebagai tanggung jawab intelektual, bahwa Jawa Timur tidak kekuarangan kader yang layak dan mumpuni. Hanya perlu dilakukan penguatan rasa percaya dirinya saja. Kelima, sebagai tanggung jawab social, bahwa Jawa Timur siap mengemban misi keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan sebagai misi utama NU.
Sebagai catatan akhir ada beberapa renungan bagi kader-kader NU Jawa Timur khususnya, dan kader-kader NU seluruh nusantara pada umunya. Pertama, bagaimanapun juga perahu NU tidak bisa sepenuhnya steril dari polusi sosial. Disadari atau tidak, banyak dari kader NU yang terkendala oleh konstruksi budaya patron-klien yang stagnan dan sulit maju kearah tradisi yang lebih marketable. Konstruksi budaya dan mentalitas lama ini sudah saatnya direkonstruksi, tapi bukan didekonstruksi. Perlu ada inovasi interpretasi terhadap etika santri-kyai dengan tempat menjunjung tinggi adagium ‘al-adabu fauqol ilmi’. Kedua, sebagai akibat tak langsung dari kultur lama tersebut, tidak jarang NU dihadapkan pada pilihan sulit untuk memerankan dirinya menjawab tantangan zaman. Apakah sebagai motor, interpretator, atau juga mediator kekuatan masyarakat. Untuk itu perlu keberanian yang kuat untuk keluar dari zona nyaman status quo. Ketiga, pola lama menyebabkan lemahanya proses kaderisasi kader-kader potensial NU. Padahal generasi sepuh bagaikan revolving-door (pintu berputar) dimana generasi sepuh pada saatnya harus meninggalkan gelanggang utama pergerakan dan menyerahkannya kepada generasi berikutnya.
Hayu, let’go.. kader-kader NU Jawa Timur pada khususnya, dan kader-kader NU seluruh nusantara pada umumnya untuk bangkit keluar dari paradigma lama menuju paradigma baru. Abad kedua Nahdlatul Ulama ada ditangan kita. Belajar dari kasus PWNU Jawa Timur untuk perubahan NU di Abad ke duanya.
*Penulis adalah Wakil Katib PCNU Kota Bogor, Komisi Fatwa MUI Kota Bogor dan Pembina PC LBMNU. Alumni PP. Mathlabul Ulum Jambu Sumenep, PP TMI Al-Amien Prenduan Madura. Terus menerpa diri di PP TqN Kaduparasi Labuan, Raudlatul Hikam Cibinong, YIC Al-Ghazaly Bogor, mulazamah dan tafa’ulan dibeberpa pesantren di Sukabumi, Cijeruk, Jawa Tengah dan lain-lain. Alumni Aqidah Filsafat UIN-SGD Bandung dan Sekolah Pascasarjana MPD-IPB Bogor