TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Katim Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengatakan tak berminat mencalonkan diri maju sebagai calon presiden RI pada pemilu presiden 2024.
"Menurut saya ini mutlak, saya pribadi tidak akan mencalonkan diri (jadi presiden) atau bersedia dicalonkan juga, tidak mau maju," ujar Gus Yahya, sapaan akrabnya, ketika wawancara khusus dengan Wakil Direktur Pemberitaan Tribunnetwork Domu Ambarita, Sabtu (4/12/2021).
Menurutnya, menjadi Presiden RI itu tidak enak.
Bukan tanpa sebab Gus Yahya, begitu sapaannya, menolak dan mengatakan menjadi presiden itu tidak enak.
Dengan bercanda, Gus Yahya mengatakan dia sudah pernah menjadi presiden.
Pernyataannya merujuk peristiwa ketika dirinya masih menjadi juru bicara Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Kala itu Gus Dur mengikuti konferensi Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Doha, Qatar.
“Saya ikut Gus Dur sebagai juru bicara dalam konferensi OKI di Doha, Qatar. Waktu itu saya enggak ada kerjaan di sana itu, berapa hari cuma keluyuran di lobi ketemu orang sana sini ngobrol," kenang Gus Yahya.
Saat perhelatan tersebut, Gus Yahya hanya berkeliaran di sekitar venue, menunggu acara berakhir pada pukul 22.00 malam waktu Qatar.
"Presiden (Gus Dur) keluar dengan Menlu (Alwi Sihab) kemudian disambut oleh para staf, termasuk saya ikut menggerombol di situ menyambut presiden,” tutur Gus Yahya.
Gus Dur pun diingatkan oleh para staf, termasuk Gus Yahya, bahwa pertemuan akan berakhit sebentar lagi setelah jeda sejenak.
“Tiba-tiba Gus Dur bilang saya capek sekali ini, saya sudah enggak kuat, mau istirahat saja," katanya.
Namun, Gus Dur tetap tidak mau ikut dan justru menyuruh Gus Yahya menggantikan posisinya pada sesi penutupan.
Terus diingatkan bahwa ini cuma break sebentar, sesudah ini ada acara penutupan.
“Nggak, nggak saya sudah nggak kuat, mau tidur, tiba-tiba Gus Dur bilang itu. Biar Yahya saja yang masuk nanti, beliau bilang begitu," ucapnya.
Keadaan bertambah runyam ketika itu bagi Gus Yahya, karena dia harus duduk di kursi yang disediakan bagi presiden RI.
"Kita enggak ada pilihan selain patuh ya. Akhirnya saya masuk bersama Menlu Alwi Sihab, sampai di sana itu setiap delegasi negara disediakan dua kursi: Presiden dan Menlu," katanya.
"Saya sampai di sana bingung. Loh ini saya duduk di mana?”
“’Di situ,’ kata Pak Alwi kan. Lah ini kursinya Presiden saya enggak berani. ‘Tukaran saja pak saya enggak berani.’”
“’ Enggak bisa,’ kata Pak Alwi, ‘saya Menlu, harus duduk di kursi saya,” ucapnya menirukan perkataan Alwi Sihab.
“ Loh saya bagaimana ini? Menlu bilang, ‘perintah Presiden ya kamu duduk di situ. Duduklah saya di kursi presiden itu,’" katanya.
Tak berhenti sampai di sana, Gus Yahya menceritakan setelah duduk di kursi yang seharusnya ditempati Gus Dur, saat juru kamera acara menyorot setiap delegasi yang hadir, sorotan berheni pada dirinya.
Wajah Gus Yahya disorot hingga memenuhi layar.
Kemudian sorotan kamera menyorot name tag di bawahnya yang bertuliskan President of Republic Indonesia.
"Kamera itu tadinya shoot memutar dari jauh ke delegasi satu per satu. Lewatin saya, tapi lewatin saya sedikit, balik lagi dia.”
“ Tadinya kan longshot, terus di zoom in akhirnya saya di close up sebesar tembok itu muka saya. Saya kan terus bagaimana rasanya itu," katanya.
"Saya mau senyum malah kayak meringis, saya mau kelihatan serius malah kayak cemberut, jadi nggak karu-karuan saya.”
“ Habis itu gambar kameranya turun menyorot name tag di depan saya, yang bertuliskan President of Republic Indonesia.”
“ Jadi sudah pernah saya (jadi presiden) dan serius nggak enak," ucapnya diikuti gelak tawa.
Kalau Jadi Ketum NU
Gus Yahya ingin mentransformasi konstruksi organisasi NU agar menjadi organisasi yang lebih optimal.
"Saya memang menawarkan diri untuk dipilih sebagai Ketua Umum dalam Muktamar nanti," ucap Gus Yahya, ketika wawancara khusus dengan Wakil Direktur Pemberitaan Tribunnetwork Domu Ambarita.
"Karena saya melihat ada sejumlah hal penting yang harus dilakukan NU segera yaitu yang tema besarnya adalah transformasi konstruksi organisasi NU supaya NU ini bisa lebih optimal di dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya," jelas Gus Yahya.
Baca juga: Said Aqil Siraj Tegaskan Tak Terobsesi untuk Pilpres 2024: Bukan Maqomnya
Dia mengatakan dengan kebesaran NU baik secara nama maupun jumlah anggota, akan ada citra atau wibawa yang juga terasa di dalam pengurus PBNU.
"Cuma persoalannya kemudian wibawa itu hanya aktual di tingkat PBNU dan di daerah-daerah yang komunitas NU-nya tebal," katanya.
Kemudian, dikatakan Gus Yahya, di daerah yang komunitas NU-nya tipis, hal tersebut tidak teraktualisasi kebesarannya.
"Sehingga masih banyak bahkan sebagian besar karena daerah yang komunitas NU-nya tebal itu tidak terlalu banyak juga Jatim, Jateng, jawa keseluruhannya mungkin. Sumatra mungkin Lampung, Sumatra Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan," ujar Gus Yahya.
"Tapi di daerah-daerah lain memang komunitas NU-nya tipis, sehingga kepengurusan yang ada di sana terbatasi kemampuannya untuk mengaktualisasi kemampuan NU itu sendiri," tambahnya.
Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu pun mengusulkan agar program NU di balik orientasinya.
"Kasarnya dijungkir. Jadi pelaksanaan kegiatan janganlah di pusat, tapi di daerah."
"Tugas dari PBNU nanti mencarikan atau membangun program-program untuk dieksekusi di daerah di cabang-cabang," katanya.
Dengan begitu, Gus Yahya menambahkan, NU di cabang-cabangnya punya peluang untuk terus mengoptimalkan potensinya bekerja sama dengan pihak lain baik dengan pemerintah atau pihak swasta.
Kemudian, dia menyebut, PBNU akan memantau dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tersebut kepada para partnernya.
"Ini akan memicu konsolidasi struktural antara PBNU dengan jaringan PWNU dan PCNU di seluruh Indonesia."
"Kalau sudah begitu kita bisa melihat suatu agenda nasional betul-betul digerakkan dibawa secara serentak karena NU ini punya sekitar 540 cabang di seluruh Indonesia," katanya.
"Dan kalau kita berpikir bisnis, ini berarti 540 outlet yang di situ ada orang dan orang yang sebetulnya mampu bekerja, cuma karena keterbatasan resources di sebagian besar daerah mereka kurang mampu mengembangkan kegiatan-kegiatan, nah ini yang kita suplai program-program sehingga mereka jalan dan masyarakat setempat akan melihat peran NU di sana dan seterusnya," tandas Gus Yahya.(*)