TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SEPULUH bulan lamanya Yahya Cholil Staquf didapuk menjadi juru bicara dari Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Gus Yahya, sapaan akrabnya, mengaku memiliki banyak kenangan bersama Gus Dur.
Salah satunya perjalanan non stop ke berbagai lokasi lebih dari 36 jam yang diikuti Gus Dur.
Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menceritakan padatnya jadwal tak membuat Gus Dur mengeluh.
Padahal yang bersangkutan sudah terserang penyakit stroke.
Menurutnya, hal itu dikarenakan kunjungan Gus Dur adalah demi kebenaran dan kemanfaatan orang banyak.
"Paman saya itu punya ungkapan bahwa Gus Dur ini orang yang siap dibakar kapan saja demi kebenaran yang dia yakini," ucap Gus Yahya, sapaan akrabnya, ketika wawancara khusus dengan News Manager Tribunnetwork Rachmat Hidayat, Sabtu (4/12/2021).
"Saya pernah ikut Gus Dur jalan darat dari Medan ke Padang. Kita tahu beliau sudah sepuh dan stroke berkali-kali."
"Waktu itu dari Medan ada acara dan mulai jam 8 kelar jam 11, dari acara langsung kami jalan lewat darat menuju ke Padang," kisah Gus Yahya.
Sepanjang perjalanan, Gus Yahya mengingat telah mampir ke berbagai tempat untuk acara yang berbeda.
Ada enam tempat yang disambangi, sebelum sampai ke Padang.
Ketika itu, kata dia, Gus Dur dan rombongan tiba di sebuah pondok pesantren Padang pada dini hari, tepatnya jam setengah dua atau pada hari berikutnya.
Saat itu sudah sekitar 28 jam non stop perjalanan dilakukan.
Sesampainya di Padang, mereka langsung mengikuti pengajian hingga subuh.
Setelah istirahat sebentar di hotel, pada hari yang sama jam 9 pagi, Gus Dur sudah kembali mengikuti acara bersama kalangan NU.
Pada tengah hari, mereka lantas menuju bandara untuk kembali ke Jakarta.
"Sampai di Jakarta, saya pulang dan ambruk seminggu nggak bisa bangun. Sakit dan capek."
"Tapi Gus Dur, waktu itu sampai di bandara nggak keluar dari bandara, beliau cuma pindah terminal dan langsung terbang ke Barcelona."
"Saya tidak percaya bahwa Gus Dur tak merasa sakit, pasti beliau sakit," kata Gus Yahya.
"Saya yang muda, sehat walafiat saja sakit sekali, seminggu nggak bisa bangun."
"Gus Dur pasti merasakan sakit, tapi beliau mampu mengelola dan menahan rasa sakit itu untuk terus melanjutkan pergulatannya perjuangannya apapun yang terjadi," imbuh dia.
"Jadi beliau ini orang-orang yang tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri sama sekali, bahkan kepentingan badannya tak dipikirkan," ucapnya.
"Yang dipikirkan adalah apa yang beliau yakini sebagai kebenaran dan kemanfaatan bagi orang banyak," kata dia menambahkan.
Berikut satu bagian petikan wawancara khusus Tribunnetwork dengan Gus Yahya :
Gus Dur pernah menjadi Ketum PBNU. Ada tidak visi misi Gus Dur yang mungkin belum terlaksana dan akan diteruskan oleh Gus Yahya jika terpilih jadi Ketum PBNU? Kalaupun terpilih sistem kepengurusan akan seperti apa? Karena banyak santri milenial yang memiliki pemikiran dan ingin membangun dan membesarkan NU, apakah akan diajak ikut serta?
Oh iya karena memang zaman meminta ya, pertama begini kalau apa yang dipikirkan Gus Dur dan apa yang belum dilaksanakan, dulu pada akhir tahun 80-an itu Gus Dur pernah menginisiasi berupa program penyediaan akses kepada lembaga keuangan yang sampai ke grassroot.
Dulu ada gagasan tentang BPRNUSUMA itu didesain kerja sama antara NU dan Bank Suma, tapi kemudian karena banyak alasan saya tahu upaya ini gagal atau kandas. Masih ada satu dua bank yang masih hidup ya tapi kandas.
Tapi saya menangkap apa yang dilakukan Gus Dur itu dua hal penting.
Pertama, mengaktifkan jaringan kepengurusan NU sampai ke tingkat paling bawah yaitu dari tingkat kecamatan dan desa, karena kalau dibuatkan lembaga keuangan di sana, ini pasti bisa langsing enggage dengan masyarakat lapisan bawah.
Kedua, memanfaatkan jaringan kepengurusan NU yang tersebar di seluruh Indonesia ini sebagai outlet untuk menggulirkan agenda-agenda.
Dua hal ini yang menjadi inti dari gagasan Gus Dur di dalam eksperimen yang pada waktu itu sayangnya belum berhasil.
Menurut saya saat ini, kita ada pada momentum dan ada pada keadaan yang sangat terbuka peluang untuk mewujudkan gagasan Gus Dur ini.
Bahkan menumpahkannya secara lebih luas, bukan hanya menyangkut soal hal-hal yang terkait dengan fasilitas keuangan tapi bisa yang lain-lain.
Program pertanian, program UKM, program pendidikan, kesehatan, banyak hal yang bisa dikembangkan.
Nah dulu itu, zaman orde baru, ada program KB. Program KB dan salah satu bentuk program itu Posyandu. Posyandu itu dibuka di desa-desa menyediakan macam-macam fasilitas untuk ibu hamil dan anak-anak balita dan semua fasilitas dari pemerintah. Susu, vitamin, vaksin dan lain-lain sampai alat kontrasepsi disediakan di situ.
Nah itu dibuka biasanya sebulan sekali atau sebulan dua kali.
Di daerah-daerah yang di situ ada kantong NU cukup tebal, yang buka lapak itu muslimat NU, muslimat NU menyediakan tempat mengatur orang datang dan pergi tapi semua fasilitas dari pemerintah, ini kerjasama antara muslimat NU dengan BKKBN waktu itu.
Nah ini adalah model kerjasama dan eksekusi program di grass roots menarik sekali yang menurut saya kita butuh untuk me-recreate, menciptakan kembali, dengan prinsip seperti itu.
Kerjasama dengan pihak lain, eksekusi di bawah, fasilitas bisa dari pihak lain tapi kita yang menyediakan atau NU yang menyediakan venue dan orang-orang yang mengelola program yang itu di bawah. Ini adalah gagasan yang menurut saya sangat strategis dan akan bermanfaat bukan hanya bagi NU sendiri tapi juga masyarakat pada umumnya, masyarakat luas.
Ya soal pengurusan, jelas kita ya saya ini sudah tua, tapi kalo dibanding dengan kiai-kiai yang lebih tua, termasuk muda lah. Termasuk muda. Dan saya itu memang sudah sejak lama berpikir tentang jajaran kader-kader muda ini.
Mulai 2010-2011 itu saya bersama Nusron Wahid, Ketua Umum Ansor pada waktu itu, kami mendesain satu strategi untuk mentransformasikan Ansor ini menjadi organisasi yang lebih coherent dan lebih solid dan alhamdullilah setelah 11 tahun kita lihat hasilnya sekarang, ada hasil bahwa strategi ini memang valid. Nah, itu saya harus bekerja dengan jajaran kader-kader muda NU di Ansor dan ke depan ini saya kira IPNU, IPPNU misalnya dan jajaran yang lebih muda lagi juga harus dikelola di dalam jajaran PBNU akan datang, dua hal yang saya pikirkan memang.
Satu bahwa, representasi dari daerah-daerah ini harus lebih diperhatikan. Yang kita lihat sekarang postur PBNU ini itu representasi daerah ini belum imbang, masih dominasi dari Jawa misalnya, daerah tertentu gitu masih terlalu besar.
Sementara kita ingin untuk meng-address lebih intensif lagi masalah-masalah di seluruh belahan Indonesia ini, maka kita perlukan representasi dari daerah yang lebih luas. Yang kedua adalah tentu representasi dari generasi yang lebih muda, karena pekerjaan NU, nantikan banyak sekali, kerjaan PBNU banyak dan berat, menurut saya sih kalau stamina kurang itu bisa kedodoran PBNU nantinya saya pikir.
Jadi kita sangat butuh anak-anak muda ini ya, bukan hanya energinya cukup untuk mengurus pekerjaan-pekerjaan di NU tapi juga dia tahu, ini dunia yang beda sekali, dunia yang saya tidak seratus persen bisa memahami dunia hari ini. Ya tapi anak-anak muda, dia begitu paham, dunia macam apa, apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka cari. Kita butuh teman-teman yang lebih paham tentang ini, bukan hanya secara intelektual ya, tetapi juga secara mental. Karena kita bicara soal pengelolaan organisasi dari hari ke hari secara dinamis sehingga secara mental juga harus mengerti, sehingga tidak salah-salah respons. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)