Menurut Atang, negara tidak boleh tinggal diam melihat banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat.
"Ini adalah kewajiban asasi bagi kita dan ditengah-tengah darurat kekerasan seksual."
"Negara memiliki kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct), yaitu melakukan langkah-langkah tertentu untuk melaksanakan pemenuhan suatu hak dan kewajiban untuk berdampak (obligation to result), yaitu mencapai tujuan yang diamanatkan dalam konstitusi."
"Karena diamnya negara (by omission) atau tidak melakukan sesuatu tindakan atau bahkan gagal mengambil kebijakan yang menjadi kewajiban hukum, merupakan pelanggaran," jelas Atang dikutip dari Tribunnews.com, Sabtu (11/12/2021).
Baca juga: Soal Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Rudapaksa Santri, Ahli Sebut Kebiri Bukan Hukuman, Justru Pengobatan
Menurut Atang, ancaman kekerasan dan tindak kekerasan oleh siapapun dan dalam bentuk apapun harus segera diperangi.
Karena perlindungan terhadap rakyat (social defence) adalah marwah kebangsaan Indonesia yang jelas-jelas disebutkan pertama dalam alinea keempat UUD 1945.
Untuk itu, pihaknya akan terus mengawal penetapan RUU tersebut demi kepentingan bangsa.
Terkait adanya kabar tentang Badan Legislasi DPR akan membawa draf RUU TPKS ke Sidang Paripurna, Atang pun mengapresiasi langkah tersebut.
"Namun tetap RUU ini harus dikawal dari mulai pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) dengan pemerintah hingga ditetapkan sebagai UU," ujar Atang.
Menurutnya, RUU TPKS adalah langkah progresif yang harus dikawal oleh seluruh elemen bangsa.
Dan bahan pembahasannya pun tidak perlu menunggu RUU KUHP karena derajatnya sama sebagai UU.
Baca juga: 3 Santri Korban Herry Wirawan Dikeluarkan dari Sekolah, Ada Orangtua yang Sempat Ingin Bunuh Pelaku
Apalagi dalam sistem peraturan perundang-undangan di Republik ini (UU No. 12 Tahun 2011) tidak mengenal UU Payung, maka Atang menilai derajatnya sama.
8.000 Aduan Kekerasan Seksual dalam Setahun
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga mengabarkan selama periode tahun 2021, tercatat lebih dari 8 ribu aduan terkait tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.