Kasus Asabri

Polemik Pengulangan Tindak Pidana dalam Kasus Asabri, Begini Pandangan Para Pakar Hukum

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terdakwa kasus Korupsi di PT ASABRI Heru Hidayat yang dituntut hukuman mati atas perkara yang menjeratnya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021).
Terdakwa kasus Korupsi di PT ASABRI Heru Hidayat yang dituntut hukuman mati atas perkara yang menjeratnya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Prof Andi Hamzah menjelaskan definisi atau maksud pengulangan tindak pidana dalam kasus atau perkara pidana. 

Menurut Andi, suatu perbuatan dinyatakan sebagai pengulangan tindak pidana jika seseorang melakukan tindak pidana baru setelah sebelumnya dinyatakan terbukti bersalah dalam putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. 

Andi mencontohkan, orang yang pernah melakukan tindak korupsi dan telah diputuskan bersalah oleh pengadilan, kemudian yang bersangkutan melakukan tindak pidana korupsi lagi.

"Itu pengulangan, sudah diputus, korupsi lagi. Itu namanya melakukan pengulangan. Sudah melakukan korupsi, sudah diputus, korupsi lagi," ujar Andi saat dihubungi wartawan, Sabtu (11/12/2021).

Polemik pengulangan tindak pidana mencuat ke publik pasca jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung menuntut pidana mati terhadap terdakwa perkara dugaan korupsi Asabri, Heru Hidayat dengan pidana hukuman mati. 

Jaksa menilai Heru melakukan pengulangan tindak pidana karena juga terlibat dalam kasus korupsi Jiwasraya.

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Profesor Andi Hamzah dihadirkan menjadi saksi ahli dalam sidang terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM roda dua dan empat, di Korlantas Mabes Polri 2011, dan pencucian uang, Irjen Djoko Susilo di Tipikor, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa(30/7/2013). Saksi dari pihak penasihat hukum DS tersebut menuturkan bahwa Jaksa Penuntut Umum KPK dapat menuntut perkara pencucian uang, tanpa harus berkoordinasi atau di bawah supervisi Kejaksaan Agung. (WARTA KOTA HENRY LOPULALAN) (Warta Kota/HENRY LOPULALAN)

Sejumlah pakar dan ahli pidana pun mempertanyakan dan mengkritik tuntutan jaksa atas terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati dengan dalil pengulangan tindakan pidana. 

Baca juga: KontraS: Pidana Hukuman Mati Tak Jamin Berikan Efek Jera

Pendapat pakar dan ahli pidana ini senada dengan pandangan Andi Hamzah.

Pakar Hukum Tindak Pidana Korupsi yang sekaligus menjadi Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno menyebutkan tindak pidana yang dilakukan oleh Heru Hidayat dalam kasus Asabri tidak bisa masuk dalam kategori pengulangan tindak pidana. 

Pasalnya, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya hampir bersamaan dengan tindak pidana dalam kasus Asabri. 

Menurut Nur, yang berbeda dari keduanya hanya waktu penuntutan di mana kasus Jiwasraya lebih dahulu diproses dari kasus Asabri.

“Apakah bisa dikatakan perbuatan terdakwa Heru Hidayat pada kasus Asabri, itu merupakan pengulangan dari tindak pidana yang telah dilakukan Heru Hidayat pada kasus Jiwasraya? Jadi, kalau saya perhatikan, tempusnya hampir bersamaan, artinya waktu kejadian perkara itu terjadi bersamaan. Hanya saja proses penuntutannya berbeda. Jadi, ini bukan merupakan pengulangan tindak pidana,” kata Nur kepada wartawan, Selasa (7/12/2021).

Menurut Nur, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan Asabri masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. 

Baca juga: Dukung Tuntutan Hukuman Mati Terdakwa Korupsi ASABRI, Arteria Dahlan: Beri Efek Jera Koruptor

Hal ini berarti seseorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri. 

Presiden Komisaris PT Trada Alam Mineral, Heru Hidayat keluar dari Gedung Bundar, Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, menggunakan rompi tahanan, Selasa (14/1/2020). (Tribunnews.com/ Igman Ibrahim)

“Ini merupakan konkursus, dalam ilmu hukum namanya konkursus realis. Jadi, melakukan beberapa perbuatan pidana, yang masing-masing perbuatan itu diancam dengan pidananya sendiri-sendiri. Jadi, ttidak tepat kalau jaksa memberikan pemberatan kepada Heru Hidayat dengan alasan bahwa Heru Hidayat itu telah melakukan pengulangan tindak pidana,” jelas dia.

Konkursus realis ini, kata Nur berbeda dengan pengulangan tindak pidana atau residive. 

Menurut dia, residive terjadi jika seseorang melakukan tindak pidana lagi setelah sebelumnya dinyatakan bersalah berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. 

“Kalau pengulangan tidak pidana atau residive begini, dia diputus pidana, setelah diputus pidana, dia melakukan perbuatan pidana lagi. Kasusnya Heru Hidayat kan tidak, perbuatan pidananya sudah dilakukan semua, hanya diproses tidak dalam waktu yang bersamaan. Jadi, antara kasus Jiwasraya dengan Asabri kan hampir bersamaan, hanya penuntutannya didahulukan Jiwasraya, kemudian Jiwasraya selesai kemudian baru kasus Asabri,” ungkap Nur.

Senada dengan Nur, Pakar Pidana dari Universitas Trisakti Dian Andriawan juga mengaku sepakat jika tindakan Heru Hidayat tidak bisa dikategorikan sebagai pengulangan tindakan pidana. 

Menurut dia, pengulangan tindak pidana terjadi ketika seseorang sudah diputuskan bersalah dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, lalu setelahnya melakukan tindak pidana baru.

“Pengulangan perbuatan itu terjadi apabila sudah ada perbuatan yang diputus oleh pengadilan dan kemudian dilakukan suatu perbuatan baru. Itu namanya pengulangan perbuatan. Kalau ini kasusnya bersama-sama. Pengertian yang dikemukakan oleh jaksa itu keliru kalau menurut saya,” pungkas Dian.

Diketahui, Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut terdakwa perkara dugaan korupsi Asabri, Heru Hidayat dengan pidana hukuman mati. 

Jaksa meyakini Heru terbukti bersama-sama sejumlah pihak lainnya telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana PT Asabri (Persero) yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 triliun.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!

Berita Populer

Berita Terkini