Menurutnya, kepala daerah menggunakan kuasanya untuk menciptakan birokrasi yang korup untuk membalas budi si "bohir".
"Karena dari mana lagi mereka mencari pengganti itu kalau bukan dari kas negara," kata Firli.
Firli juga menyebut biaya politik yang mahal untuk mencari dana ke "bohir" bukan cuma saat kampanye.
Beberapa transaksional yang biasa disebut dengan mahar juga masih sangat mahal dalam berpolitik di Indonesia.
Dia mencontohkan Kabupaten Ogan Komering Ulu (Oku) yang tidak mempunyai definitif saat ini.
Firli menyebut, dari sembilan partai politik yang ada di Oku, tidak ada satu pun mengajukan calon bupati pengganti sampai saat ini.
Baca juga: Jika Ada Dugaan Suap Kasus Karantina Rachel Vennya, MAKI Minta Saber Pungli Koordinasi KPK
"Kenapa ini terjadi? ya karena politik transaksional dengan mahar. Persoalannya politik transaksional akan menciptakan kultur kepemimpinan yang koruptif karena akan membutuhkan modal sangat besar," ujar Firli.
Atas dasar itulah Firli meminta presidential threshold di Indonesia menjadi 0 persen.
Menurutnya, biaya politik yang mahal membuat potensi korupsi yang dilakukan kepala daerah meningkat.
"Selain adanya indikator memperkaya diri, upaya 'balik modal' dan 'balas budi' pada donatur oleh para kepala daerah dan legislatif setelah terpilih, membuat KPK merasa penting bersikap sehingga pemberantasan korupsi bisa diselesaikan dari hulu ke hilir," kata Firli.