TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA— Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH As'ad Said Ali menyatakan kesediaannya dicalonkan sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama.
Pernyataan ini kembali disampaikan kepada wartawan, Selasa (21/12/2021).
Kesediaan tokoh yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua BIN era Presiden KH Abdurrahman Wahid ini, maju dalam kontestasi lima tahunan itu, berangkat dari dukungan sejumlah tokoh Nahdliyin dan keluarga pendiri NU.
Baca juga: Ketua GP Ansor Harap Muktamar ke-34 NU Jadi Momentum untuk Berbenah Diri
Beberapa tokoh senior juga turut mendorong agar Kiai Asad turut serta dalam bursa ketua umum PBNU.
Dua nama, diketahui telah mendeklarasikan diri maju sebagai Ketum PBNU, yaitu Prof KH Said Aqil Siroj dan KH Yahya Cholil Staquf.
“Insya Allah saya positif untuk meramaikan bursa ketua umum PBNU,” kata Kiai Asad.
Dia mengatakan, NU pada dasarnya mempunyai potensi yang sangat luar biasa.
Ini dengan catatan jika fikrah/pemikiran bisa sejalan baik dengan amaliyah.
Baca juga: Kompak, Pengurus hingga Kiai Sepuh dari Jatim Dipastikan Hadiri Muktamar NU ke-34 di Lampung
Dia menilai dengan segenap kerendahan hati jika pemikiran para pendiri (muassis) NU sudah sangat luar biasa, hanya saja harus didukung dengan implementasi atau amaliyah yang luar biasa pula.
Respons dan apresiasi terhadap pemikiran dan amaliyah NU bahkan banyak diapresiasi mancanegara.
Saat mengantarkan lawatan tokoh Taliban ke sejumlah pesantren di Indonesia, yang bersangkutan kagum keberadaan pesantren dan lembaga pendidikan NU.
Menurut Kiai Asad, NU mempunyai modal yang sangat kuat, salah satunya adalah Pendidikan Kader Penggerak NU (PKPNU). PKPNU saat ini sudah berada lebih di 11 ribu titik.
Dia menyebut, PKPNU merupkan modal penting untuk menjawab beragam persoalan internal NU seperti kemandirian.
Baca juga: Jelang Muktamar NU, Mantan Bendahara PBNU Ungkap Dukungan Untuk Gus Yahya
Di samping itu, modal Aswaja juga tidak boleh dikesampingkan untuk menjawab tantangan di dunia dan Indonesia.
“Saya berkeyakin NU mempunyai potensi kuat untuk menandingi pemikiran luar,” kata sosok kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 19 Desember 1949 itu.
Kendati demikian, dia sadar betul bahwa NU butuh nakhoda yang kuat dan merangkul semua elemen, terlebih menghadapi tantangan jelang usianya yang satu abad.
“Kita sempit kalau hanya satu kelompok saja tidak mampu, dan saya siap merangkul semua yang ada di NU,” kata jebolan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.