Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Buku Biografi Calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf dengan judul 'Biografi KH Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan' kembali dibedah pada Selasa (21/12/2021).
Acara bedah buku biografi Kyai karismatik ini dihadiri langsung oleh orang yang menjadi tokoh utama dalam buku ini yakni KH. Yahya Cholil Staquf yang saat ini menjabat Katib Aam PBNU, Ahli Sejarah Islam dan PCNU Jerman Zacky Khairul Umam, Akademisi UIN Raden Intan, Lampung Safari Daud dan Penulis Buku Septa Dinata.
Dalam kesempatan itu, KH. Yahya Cholil Staquf atau yang biasa disapa Gus Yahya menjelaskan tiga hal penting yang menggambarkan dirinya saat ini,.
Pertama, bagian dari anak perubahan, kedua anak NU dan ketiga anak Gus Dur.
Baca juga: PROFIL Gus Yahya, Disebut-sebut Jadi Calon Ketua Umum PBNU
Gus Yahya menggambarkan dirinya sebagai anak perubahan, mengingat konteks saat dirinya dilahirkan saat itu dihadapkan oleh dinamika perubahan yang luar biasa, karena dirinya tidak menempuh pendidikan lewat pesantren, tetapi pada sekolah umum.
“Kalau saya harus menggambarkan diri saya, menggambarkan sejarah hidup saya saya harus katakan pertama-tama adalah anak perubahan yaitu karena saya lahir dan tumbuh di tengah-tengah yang sebetulnya dramatis sekali setidak-tidaknya dalam persepsi saya apalagi terutama perubahan dalam konteks pesantren dan NU," kata Gus Yahya saat peluncuran dan bedah buku Biografi 'KH Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan', di Lampung, Selasa (21/12/2021).
Pada tahun 1960-an, 1970-an dan 1980-an itu sangat dramatis, karena itu sebagai momentum perubahan yang terkait dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan dunia Pesantren, serta bertabrakan dengan skenario politik dari penguasa.
“Pertama Karena Nahdatul ulama ini harus bertabrakan dengan skenario politik dari penguasa yang sangat kuat sehingga kemudian harus melepaskan diri sebagai partai politik untuk bergabung befusi dengan partai-partai Islam lain di dalam PPP pada awal Orde Baru,” ucapnya.
Mantan Juru Bicara Presiden Indonesia Abdurahman Wahid alias Gus Dur ini menceritakan, tahun 1970-an merupakan yang paling dramatis dari bertemunya dunia pesantren yang tradisional dengan realitas modern, yaitu ketika negara sebagai agen dari modernitas ini semakin dalam cengkramannya kepada masyarakat termasuk institusi sosial yang ada dalam pesantren.
“Nah maka saya tumbuh di tengah-tengah perubahan psikologi ini, yang pertama saya sendiri merasakan bahwa secara mental juga mengalami perubahan-perubahan dramatis tentang bagaimana cara saya memandang realitas, dan menanggapi realitas itu sendiri. Maka sekali lagi saya katakan, kalau saya gambarkan diri saya adalah pertama-taman anak perubahan,” ujar Gus Yahya.
Lanjut Gus Yahya, dirinya adalah turunan asli NU, dimana orang tuanya hingga kakeknya adalah pentolan NU dan dia (Gus Yahya) sendiri dibesarkan di lingkungan NU sejak masih kecil hingga dewasa.
“Kedua saya ini adalah anak NU, Saya lahir di tengah-tengah keluarga NU, Ketika saya lahir kakek saya adalah Rois syuriah pengurus wilayah NU Jawa Tengah dan ayah saya adalah pemimpin cabang gerakan Ansor Rembang, kemudian pada masa kecil ayah saya naik karirnya jadi ketua cabang NU,” katanya.
“Jadi saya ini emang anak NU, sebagian besar pergulatan mental saya kalau saya berpikir tentang dunia kehidupan saya itu nyaris tidak ada elemen-elemen yang tidak terkait dengan NU,” lanjutnya.
Lebih jauh Gus Yahya, ia menganggap dirinya sebagai anak Gus Dur, karena semenjak mengenal Gus Dur secara pribadi maka pikiran-pikiran pergulatan mentalnya terkait NU ini selalu merujuk kepada Gus Dur.
Bahkan, faktor Gus Dur menjadi satu di antara alasan dirinya maju menjadi Ketua Umum PBNU.
“Saya ini adalah anak Gus Dur, karena semenjak saya mengenal Gus Dur kemudian kesempatan mengenal beliau secara pribadi maka pikiran-pikiran pergulatan mental saya ter terkait NU ini selalu saya rujukan kepada Gus Dur,” ucapnya.
Sebagai anak perubahan, anak NU dan anak Gus Dur, Gus Yahya sendiri lebih cenderung untuk berpikir dalam kerangka gerakan sosial ketimbang keterlibatan intelektual dan akademis.
“Jadi kalau tadi menyebut bagaimana menggabungkan wacana tradisional dengan modern antara kitab kitab kuning dengan kitab putih ya saya mengikuti pergulatan di sekitar itu, tapi ketertarikan saya cenderung aspek gerakannya bagaimana NU ini sebagai gerakan sosial bisa lebih efektif kerja yang lebih baik untuk merespon berbagai masalah-masalah yang ada,” ungkapnya.
Sementara itu, Septa Dinata menerangkan latar belakang menulis buku biografi Gus Yahya ini tak lepas dari sejarah dan akumulasi peran agen-agen dan interaksinya di dalam masyarakat.
Sebaliknya, karakter agen yang ada di dalam masyarakat juga ditentukan oleh sejarah yang mewujud menjadi struktur sosial.
“Makanya ulasan-ulasan buku ini menjelaskan dulu konteks struktural di bagian pertama saya mencoba untuk meneropong kultural setting di mana Gus Yahya ini lahir. Kita Letakkan di situ konteks kelahiran beliau di cultural setting seperti itu dan beliau mewarisi darah ulama-ulama besar mulai dari buyut beliau sendiri itu juga ulama besar di Sarang kemudian kakek beliau sendiri di Leteh juga ulama besar mubalig, politisi dan penulis yang hebat,” kata Septa Dinata.
Dalam bukunya, Septa Dinata mengulas sosok Gus Yahya yang merupakan hasil dari interaksi dari lingkungannya.
Dialektika antara dirinya dan struktur sosial yang lebih luas memiliki hubungan timbal balik (resicprocal relation) dalam pembentukan kepribadiannya.
Menurutnya, keluarga sebagai primary atau nuclear element di dalam masyarakat memiliki peran yang utama dalam membentuk seseorang. Gus Yahya tumbuh dan besar dalam lingkungan pesantren.
“Selain ayahnya yang dikenal sebagai ulama besar, ia juga sangat diuntungkan dengan sosok lain dalam keluarganya yaitu kakeknya KH. Bisri Mustafa dan pamannya KH. Mustofa Bisri yang turut serta membentuk dirinya. Dalam diri Gus Yahya mengalir darah ulama-ulama besar," ujar Septa
Gus Yahya merupakan putra pertama KH. Muhammad Cholil Bisri. Kyai Cholil dikenal dikenal luas keulamannya, terutama dalam kalangan nahdliyyin. Ia wafat pada 2004 dengan umur 62 tahun.
“Kyai Cholil banyak menghabiskan masa kecilnya di pengungsian karena keterlibatan ayahnya dalam dinamika politik saat itu. Ia banyak menyaksikan perjuangan Laskar Hisbullah karena pada saat itu ayahnya, KH. Bisri Musthofa, turut serta bersama santri-santri lainnya mengangkat senjata,” ungkapnya.
Sementara itu, lanjut Septa, Kakeknya Gus Yahya atau ayahnya Kyai Cholil adalah putra pertama dari KH. Bisri Musthofa –seorang kyai dengan multitalenta: penyair, politisi, orator ulung, dan penulis.
“KH. Sahal Mahfudh menjuluki Kyai Bisri sebagai sosok yang memukau pada zamannya (faridu ashrihi)," katanya.
Jika ditarik lebih jauh, ungap Septa, Buyutnya Gus Yahya atau mertua dari KH. Bisri Musthofa juga merupakan keturunan ulama besar, yaitu Kyai Kholil bin 15 Harun Kasingan atau lebih dikenal dengan Kiai Kholil Kasingan yang terkenal di tanah Jawa sebagai ahli Nahwu (tata bahasa Arab) dan ilmu Manthiq (seni logika).
“Kiai Kholil Kasingan berguru langsung kepada Kyai Kholil bin Abdul Lathif, Bangkalan atau lebih dikenal dengan Kyai Kholil al-Bangkalani – seorang wali yang setara dengan para Wali Songo pada zaman itu," pungkasnya.