Sebab, kata Anton, sejauh ini aparat penegak hukum belum mempunyai alat ukur terkait radikalisme.
BNPT sendiri, berdasarkan catatannya hanya pernah melakukan pengukuran potensi radikalisme pada tahun 2020 lalu.
Selain itu, kata dia, UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga tidak mendefinisikan radikalisme secara tegas.
"Dalam konteks pencegahan terorisme, Pasal 43A ayat 3 UU No5/2018 menyebutkan ada tiga langkah yang dapat dilakukan yaitu kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Dan semua langkah tersebut dikoordinasikan BNPT secara terpadu, sistematis dan berlanjut," kata Anton.
Sedangkan, kata dia, terkait keterlibatan prajurit TNI AD lebih jauh dalam pencegahan terorisme di ruang publik hendaknya menunggu terbitnya Perpres Pelibatan TNI untuk Terorisme.
Keberadaan payung hukum tersebut, kata dia, menjadi penting untuk mengetahui sejauh mana pelibatan TNI dalam aksi pencegahan sekaligus melindungi prajurit saat bertugaa dan semua aktivitas tersebut harus dalam koordinasi BNPT.
Selain menghindari kegaduhan yang tidak perlu, menurutnya hal tersebut juga dapat meminimalisir ekses termasuk munculnya stereotyping dalam pencegahan terorisme.
Jika tidak dibekali aturan jelas, kata dia, langkah prajurit untuk bertindak proaktif dalam deteksi dini radikalisme dapat berpotensi kontraproduktif.
"Kita tidak ingin gelombang radikalisme justru menguat karena langkah aparat keamanan yang berlebihan. Dan tentunya Presiden Joko Widodo lebih menginginkan situasi yang tidak gaduh di saat pemerintah fokus memulihkan perekonomian akibat pandemi," kata Anton.