TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat militer yang juga Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas mengingatkan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman agar fokus mencegah infiltrasi paham radikal ke tubuh TNI Angkatan Darat.
Anton mengatakan upaya pencegahan tersebut sudah jelas membutuhkan strategi dan mekanisme yang solid, sistematis dan terukur.
Ia mengatakan hal tersebut menjadi penting mengingat institusi TNI juga tidak imun dari paham radikal.
BNPT sendiri, kata dia, pernah memprediksi adanya ancaman infiltrasi jaringan teror ke instansi pemerintah temasuk TNI.
Apalagi, lanjut dia, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada 2019 lalu pernah menyebutkan sekitar 3 persen prajurit TNI terpapar paham radikal.
Hal tersebut disampaikannya menanggapi pernyataan Dudung dalam apel gelar pasukan TNI AD wilayah Jabodetabek di Lapangan Monas Jakarta Pusat pada Selasa (25/1/2022).
Baca juga: KSAD Jenderal Dudung: Saya Tidak Akan Segan Menindak Prajurit yang Terpapar Kelompok Radikal
"Mengingat tugas dan kewajiban KSAD, sesuai pasal 16 UU 34/2004 tentang TNI adalah pembinaan kekuatan dan kesiapan operasional prajurit maka ada baiknya Jenderal Dudung lebih berfokus pada pencegahan infiltrasi paham radikal ke TNI AD," kata Anton kepada Tribunnews.com pada Rabu (26/1/2022).
Menurut Anton keinginan Dudung untuk melibatkan aparatnya menangani radikalisme bukanlah hal baru.
Pada 22 November 2021 lalu, ia mencatat Dudung secara gamblang mengutarakan rencana melibatkan babinsa untuk mendeteksi radikalisme.
Menurutnya harus diakui, jumlah tersangka kasus pidana terorisme di Indonesia memang terjadi peningkatan signifikan.
Data Mabes Polri, kata dia, menunjukkan jumlah tersangka kasus terorisme pada tahun 2021 mencapai 370 orang, atau naik sekitar 62% dari tahun 2020 yang mencapai 228 tersangka.
Meski demikian, menurutnya perlakuan terhadap fenomena radikalisme dan terorisme hendaknya tidak disamaratakan.
Sebab, lanjut dia, tidak semua yang terpapar paham radikal akan otomatis menjadi teroris.
Di sisi lain, kata dia, penanganan masalah radikalisme di Indonesia memang terasa ambigu.
Sebab, kata Anton, sejauh ini aparat penegak hukum belum mempunyai alat ukur terkait radikalisme.
BNPT sendiri, berdasarkan catatannya hanya pernah melakukan pengukuran potensi radikalisme pada tahun 2020 lalu.
Selain itu, kata dia, UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga tidak mendefinisikan radikalisme secara tegas.
"Dalam konteks pencegahan terorisme, Pasal 43A ayat 3 UU No5/2018 menyebutkan ada tiga langkah yang dapat dilakukan yaitu kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Dan semua langkah tersebut dikoordinasikan BNPT secara terpadu, sistematis dan berlanjut," kata Anton.
Sedangkan, kata dia, terkait keterlibatan prajurit TNI AD lebih jauh dalam pencegahan terorisme di ruang publik hendaknya menunggu terbitnya Perpres Pelibatan TNI untuk Terorisme.
Keberadaan payung hukum tersebut, kata dia, menjadi penting untuk mengetahui sejauh mana pelibatan TNI dalam aksi pencegahan sekaligus melindungi prajurit saat bertugaa dan semua aktivitas tersebut harus dalam koordinasi BNPT.
Selain menghindari kegaduhan yang tidak perlu, menurutnya hal tersebut juga dapat meminimalisir ekses termasuk munculnya stereotyping dalam pencegahan terorisme.
Jika tidak dibekali aturan jelas, kata dia, langkah prajurit untuk bertindak proaktif dalam deteksi dini radikalisme dapat berpotensi kontraproduktif.
"Kita tidak ingin gelombang radikalisme justru menguat karena langkah aparat keamanan yang berlebihan. Dan tentunya Presiden Joko Widodo lebih menginginkan situasi yang tidak gaduh di saat pemerintah fokus memulihkan perekonomian akibat pandemi," kata Anton.