TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewenangan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang dinyatakan memiliki wewenang memberhentikan pengendara untuk melakukan pemeriksaan identitas.
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengatakan, pihaknya menyambut baik putusan dari MK tersebut serta mendukung apa yang menjadi penetapan terkait peran polisi kepada masyarakat.
"Kami menyambut baik dan mendukung putusan MK yang menyatakan bahwa kewenangan polisi berhentikan orang untuk periksa identitas itu konstitusional," kata Poengky saat dikonfirmasi Tribunnewscom, Kamis (27/1/2022).
Baca juga: Hendak Ditabrak, Polisi di Tangerang Duel dengan Maling Motor hingga Lepaskan Tembakan
Tak hanya itu kata Poengky, pihaknya juga setuju dengan keputusan MK yang menolak permohonan gugatan yang dilayangkan oleh dua mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) yakni Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga.
Di mana dalam gugatan terkait pengujian UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap UUD 1945, dengan nomor perkara 60/PUU-XIX/2021 itu menurut Kompolnas yang dipermasalahkan oleh kedua pemohon adalah implementasinya bukan perihal aturannya.
"Kompolnas juga setuju bahwa yang dipermasalahkan pemohon sebetulnya adalah implementasinya, bukan aturannya yang inkonstitusional," beber Poengky.
Baca juga: Sejumlah Pengakuan Karyawan Pinjol Ilegal di PIK, Ada yang Tergiur Gaji dan Baru Sehari Kerja
Dalam hal ini, Kompolnas kata Poengky, merujuk pada pasal 4 UU Polri no. 2 tahun 2002 yang menegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri.
Hal itu meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Meski demikian kata Poengky, anggota kepolisian dalam melaksanakan tugas di lapangan, harus tetap menjunjung tinggi asas kemanusiaan.
"Oleh karena itu dalam melaksanakan tugasnya seluruh anggota Polri harus berpegang pada hukum dan menjunjung tinggi HAM," tukas Poengky.
Baca juga: Bakal Beri Pendampingan Hukum, KPAU Ajak Advokat hingga Aktivis Bela Edy Mulyadi
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak gugatan terkait pengujian UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap UUD 1945, dengan nomor perkara 60/PUU-XIX/2021.
Gugatan ini dilayangkan oleh dua mahasiswa Universitas Kristen Indonesia, yakni Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga.
"Amar putusan mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (25/1/2022).
Dalam gugatannya, Pemohon menyoal norma yang terdapat dalam UU 2/2022 yakni Pasal ayat (1) huruf d yang berisi tentang tugas kepolisian yang dapat menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
Menurut Pemohon, norma ini bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1), ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Adapun argumentasinya, Pasal 16 ayat (10 huruf d tidak mengatur adanya batasan bagi anggota kepolisian saat menjalankan tugasnya.
Baca juga: Kompolnas: Polisi Punya Kewenangan Selidiki Kasus Pelat Nomor Dinas Mobil Arteria Dahlan
Menurut Pemohon nihilnya batasan ini kerap disalahgunakan oleh aparat kepolisian, dan seringkali bertindak semena-mena dan tak menjunjung tinggi nilai kemanusiaan saat melakukan pemeriksaan.
Padahal di satu sisi, dalam hukum berlaku asas praduga tak bersalah. Asas tersebut ada dalam butir 3 huruf c Penjelasan Umum UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
"Jika hal tersebut terus menerus dibiarkan, maka akan menjadi legitimasi bagi aparat kepolisian untuk bertindak semena- mena dan tidak menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam setiap pemeriksaan yang dilakukan," tulis Pemohon.
Dalam perkara ini, MK berpendapat bahwa tidak adanya batasan tersebut bukan jadi penyebab oknum kepolisian melakukan tindakan yang merendahkan martabat dan kehormatan orang lain.
Permohonan para Pemohon masuk dalam persoalan implementasi norma, bukan persoalan konstitusionalitas norma. Kekhawatiran Pemohon akan diperlakukan semena - mena merupakan bagian dari implementasi norma a quo.
Oleh karena itu MK menyebut Pasal 16 ayat (1) huruf d UU Polri adalah norma yang konstitusional.
"Oleh karena itu, baik aparat kepolisian maupun media massa diharapkan dapat selalu berhati-hati dalam menjalankan tugas dan fungsinya agar tetap dalam koridor yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku," ungkap Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.