"Selama 18 hari di hotel, semua prosedur tidak jelas, tidak ada yang beri tahu kami SOP-nya, semuanya berantakan. Kami merasa ditipu dan bahkan diancam dideportasi, jadi banyak dari kami (turis asing) yang memilih diam," katanya.
Baca juga: Hong Kong Pangkas Masa Karantina Covid-19 untuk Turis Jadi 14 Hari, Berlaku Mulai Februari
Migrant Care: Bayar Rp4,5 juta, bebas karantina
Selain WNA, pengalaman sama juga dialami pekerja migran Indonesia yang kembali dari luar negeri.
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah menceritakan, ia menerima aduan seorang PMI dari Hong Kong yang ditawari Rp 4,5 juta untuk tidak karantina.
"Sekitar Desember lalu, dari bandara ke Wisma Atlet, oknum petugas mengatakan tidak perlu karantina, waktu itu mereka minta Rp4,5 - 5 juta kemudian bisa langsung pulang ke daerah asalnya," kata Anis seperti dikutip dari BBC Indonesia.
Anis menambahkan, oknum petugas tersebut meminta paspor PMI tersebut supaya, "secara administratif tercatat melakukan isolasi, tapi secara fisik tidak ada."
"Kemudian PMI itu melapor ke kami dan kami damping untuk pengambilan paspor," katanya.
Dugaan mafia karantina juga diungkapkan oleh Mawar (bukan nama sebenarnya), seorang PMI dari Singapura.
Mawar mengatakan, ia diminta uang sekitar Rp450.000 oleh petugas saat karantina untuk mengurus pendaftaran IMEI telepon genggamnya yang sebenarnya, kata dia, gratis.
"Katanya untuk ongkos dari wisma ke bandara. Bayangkan kalau ada 10 hingga 20 orang, berapa jumlahnya? Padahal gratis," keluh Mawar.
Kasus-kasus sebelumnya
Sebelumnya, selebgram Rachel Vennya mengaku menyuap Rp40 juta mulai dari petugas bandara hingga karantina untuk dapat "bebas dari karantina" sepulang dari AS.
Rachel divonis empat bulan penjara karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana terkait karantina kesehatan, namun tidak dijerat pasal penyuapan.
Tahun lalu, Polda Metro Jaya menangkap 11 tersangka karena diduga meloloskan penumpang dari India tanpa karantina.