Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 27 warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di 12 negara mengajukan gugatan Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam Pasal 222 Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Dalam agenda pemeriksaan pendahuluan, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh memberi nasihat kepada para Pemohon agar memperkuat bangunan argumentasinya.
Misalnya dengan menambahkan pendapat para pakar dari luar negeri.
"Paling tidak, ahli dari negara tempat Pemohon tinggal,” kata Daniel dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Kamis (3/2/2022).
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat selaku ketua panel mengingatkan para Pemohon untuk mencantumkan KTP atau paspor resmi dalam permohonannya.
Sebab tak semua Pemohon mencantumkan identitas tersebut.
Baca juga: 27 WNI yang Tinggal di 12 Negara Ajukan Gugatan Presidential Threshold ke MK
"Pentingnya KTP atau paspor, maksudnya agar (yang) bersangkutan diketahui betul-betul WNI,” kata Arief.
Dalam perkara Nomor 8/PUU-XX/2022 ini, para Pemohon menggugat UU Pemilu terkait Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam Pasal 222 UU Pemilu.
Pernyataan yang digugat yakni "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".
Baca juga: Lebih dari 40 Orang Gugat UU IKN ke MK, Penggugat dari Purnawirawan Jenderal TNI hingga Aktivis
"Mereka berkedudukan sebagai warga negara yang memiliki hak memilih, tetapi implisit di dalamnya ada hak untuk dipilih," kata Refly Harun selaku kuasa hukum para Pemohon.
Para Pemohon menyebut merasa dirugikan atas ketentuan aturan tersebut. Setidaknya ada lima kerugian yang disampaikan.
Meliputi, tidak dapat memilih kandidat yang lebih banyak dan selektif; terhambat menjadi calon presiden dan/atau calon wakil presiden; tidak mendapat keadilan dan askes yang sama dalam proses berpemilu; terhambat untuk memajukan diri dalam memperjuangkan pembangunan masyarakat, bangsa dan negara; menimbulkan polarisasi di masyarakat sehingga menimbulkan pertikaian.
Pemohon juga meminta MK mengubah sikapnya terkait putusan threshold.
Menurut Pemohon, threshold tak bisa dikatakan sebagai open legal policy.