Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyatakan kuat dugaan ada keterlibatan unsur TNI dan unsur sipil dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Satelit Slot Orbit 123° Bujur Timur (BT) pada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) tahun 2012-2021.
Hal ini seiring dengan telah ditemukannya dua unsur tindak pidana berdasarkan gelar perkara.
Adapun gelar perkara diikuti oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) beserta jajarannya dan tim penyidik, Jaksa Agung Muda Pidana Militer dan jajarannya, Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia (Puspom TNI), Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia (Babinkum TNI) serta dari Kemenhan.
"Berdasarkan hasil materi paparan tim penyidik, diduga ada keterlibatan dari unsur TNI dan sipil dalam kasus korupsi proyek satelit ini," kata Burhanuddin dalam konferensi pers yang ditayangkan kanal YouTube Kejaksaan RI, Senin (14/2/2022).
Baca juga: Anggota Komisi III DPR Dorong Jaksa Agung Tuntaskan Dugaan Korupsi Proyek Satelit di Kemhan
Sementara JAM Pidsus Febrie Adriansyah menyinggung ada dua hal yang menjadi fokus penyidikan.
"Bidang pidana khusus mendapat perintah dari Jaksa Agung, untuk menangani dugaan tindak pidana korupsi. Ada dua di situ yaitu sewa satelit, kemudian yang kedua ada pengadaan ground segment," kata Febrie.
Penyidik menduga telah terjadi korupsi berupa perbuatan melawan hukum dalam proyek tersebut.
"Kita terbuka dalam proses penanganannya sehingga alat bukti tadi sudah kita gelar kita melihat bagaimana proses sewanya, proses pembayarannya, kemudian kita sampaikan bahwa ada hal-hal yang indikasi kuat melawan hukum. Semua itu dari alat bukti yang telah kita temukan," tutur Febrie.
Dugaan kerugian negara yang timbul dari perkara ini turut dibahas dalam gelar perkara.
"Kemudian kita juga sudah temukan bahwa ada indikasi kerugian negara karena dalam sewa tersebut sudah kita keluarkan sejumlah uang yang nilainya Rp515,429 miliar untuk sementara. Ini yang kita temukan," kata Febrie.
Perkara ini bermula saat Satelit Garuda 1 yang keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat BT pada 19 Januari 2015.
Hal ini membuat terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Merujuk pada peraturan International Telecommunication Union (ITU) yang ada di bawah PBB, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk kembali mengisi slot itu.
Jika tak dipenuhi maka slot dapat digunakan negara lain.
Kemenhan disebut kemudian menyewa satelit kepada Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015 untuk mengisi sementara kekosongan.
Padahal, Kemenhan tidak mempunyai anggaran untuk itu.
Belakangan, Avanti menggugat Kemhan di London Court of International Arbitration (LCIA) atas dasar kekurangan pembayaran sewa.
Negara bahkan harus membayar Rp515 miliar karena gugatan itu.
Uang itu kemudian dinilai sebagai kerugian negara.
Selain itu, penyimpangan diduga terjadi dalam pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) Kemenhan tahun 2015.
Penyedia Satelit yang kemudian bekerja sama dengan Kemhan adalah Navayo, Airbus, Detente, Hogan, Lovel, dan Telesa.
Terkait ini, Kemenhan digugat Navayo di Pengadilan Arbitrase Singapura karena wanprestasi kontrak.
Kemenhan diwajibkan membayar 20.901.209 dolar AS (sekitar Rp 298 miliar) kepada Navayo.