Proyek ini akhirnya selesai dan mulai beroperasi pada 11 Juli 2019. Namun, pada 14 Desember 2019, pabrik ini dihentikan operasinya.
Alasannya, terjadi ketidakcocokan antara produksi slab di pabrik tersebut dengan harga slab di pasar, sehingga KRAS berpotensi rugi.
Padahal, pabrik blast furnace tersebut menelan investasi sebesar Rp 8,5 triliun dan termasuk di dalamnya EPC sebesar Rp 6,9 triliun.
Proyek lainnya yang mangkrak adalah proyek pabrik Iron Reduced Kiln (IRK) yang mana KRAS dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) membentuk perusahaan patungan untuk menggarap pabrik tersebut dengan nama PT Meratus Jaya Iron & Steel.
Pengadaan proyek ini sudah dimulai sejak 2008 silam. Produksi IRK dimulai pada November 2012, namun pada 12 Juli 2015 pabrik yang berlokasi di Kalimantan Selatan tersebut berhenti beroperasi.
Nilai investasi proyek pabrik tersebut mencapai Rp 1,2 triliun.
Penghentian operasi pabrik IRK ini disebabkan ketidaksiapan infrastruktur penunjang industri di kawasan pabrik tersebut berada.
Alhasil, biaya transportasi, bongkar muat, dan produksi terjadi pembengkakan.
“Lokasi pabrik jauh dari laut, sekitar 20—30 kilometer dari bibir pantai. Tanah di sana juga milik Pemda, bukan punya Meratus,” ungkap Silmy Karim.
Baca juga: PROFIL Silmy Karim, Dirut Krakatau Steel yang Diusir DPR: Spesialis BUMN Sakit, Hartanya Rp 205 M
Sosok Silmy Karim
Mengutip dari krakatausteel.com, Silmy Karim menjabat sebagai Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk sejak September 2018.
Sebelum bertugas di Krakatau Steel, ia menjabat sebagai Dirut di PT Pindad dan PT Barata.
Dikutip dari wikipedia.org, Silmy Karim lahir di Tegal, Jawa Tengah pada 19 November 1974. Sehingga saat ini, ia berumur 47 tahun.
Awalnya, Silmy Karim dikenal sebagai seorang profesional muda yang berkecimpung dalam bidang pertahanan dan industri pertahanan.