Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) sekaligus Chairman Pusat Studi Air Power Indonesia Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim berpendapat penyelesaian wilayah udara kedaulatan dan wewenang pengendaliannya lebih mendesak ketimbang pengadaan pesawat tempur.
Menurutnya ada hal yang harus dipahami terlebih dulu terkait rencana pengadaan pesawat tempur Dassault Rafale dari Prancis dalam kaitannya dengan kebutuhan penyegaran alutsista yang dipandang sudah usang.
Menurutnya hal yang harus dipahami lebih dahulu adalah bahwa pesawat terbang hanya merupakan salah satu sub sistem saja dari sebuah sistem besar bernama sistem pertahanan udara.
Sementara itu, lanjut Chappy, sistem pertahanan udara merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional dan pertahanan negara.
Baca juga: Indonesia Borong Jet Tempur Bernilai Ratusan Triliun Rupiah, dari Mana Sumber Uangnya?
Meski proses pengadaan pesawat terbang tempur pada hakikatnya merupakan upaya meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara nasional.
Namun demikian masih ada masalah yang lebih urgen dari pengadaan pesawat terbang tempur baru.
Realitanya, lanjut dia, sebagian wilayah udara Indonesia yang berada di posisi rawan di perairan selat Malaka, Natuna, dan kepulauan Riau misalnya masih belum berada dalam kekuasaan RI.
Wilayah udara tersebut, kata dia, sangat beririsan dengan kawasan rawan konflik di Laut Cina Selatan sekarang ini.
Wilayah udara tersebut dan pengendaliannya, menurutnya, merupakan sub sistem penting sekaligus komponen menentukan dalam sebuah konsep pertahanan udara.
Hal tersebut disampaikannya dalam Webinar Pusat Studi Air Power Indonesia bertajuk Menyongsong Pesawat Rafale yang digelar pada Kamis (17/2/2022).
"Kedua sub sistem yang sangat dominan itu, wilayah udara dan pengendaliannya, justru kini tidak berada di bawah kekuasaan RI. Artinya adalah menyelesaikan terlebih dahulu wilayah udara kedaulatan kita dan wewenang pengendaliannya jauh lebih urgen daripada sekadar pengadaan pesawat terbang tempur baru," lanjut Chappy.
Menurutnya wewenang pengendalian wilayah udara kedaulatan yang kini sudah berbasis satelit ditopang dengan Airborne Warning And Control System (AWCS) akan sangat melekat dengan peran sistem komando dan kendali (kodal) dalam perang modern atau era network centric sistem.
"Ingat, ratusan tank Saddam Hussein tidak dapat berdaya apa-apa dalam sekejap, saat sistem komando dan pengendaliannya dilumpukan pada Perang Teluk beberapa waktu yang lalu," kata dia.
Ia mengatakan akan percuma dan sia-sia belaka apabila ratusan pesawat yang dimiliki tidak dapat menjalankan latihan dan operasi udara di wilayah kedaulatan sendiri dengan bebas.
"Sebuah masalah rumit yang tengah kita hadapi sebagai akibat dari masalah teknis penerbangan yang diselesaikan pada ranah politik," kata dia.