TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung telah menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada terdakwa pemerkosaan belasan santriwati hingga hamil dan melahirkan, Herry Wirawan.
Lalu, bagaimana kondisi Herry yang kini ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Kebon Waru setelah menerima putusan tersebut?
Kepala Rutan Kebon Waru Bandung, Riko Stiven mengungkapkan bahwa Herry dalam kondisi sehat dan baik-baik saja pascamenerima vonis tersebut.
Diketahui, Herry Wirawan lolos dari hukuman mati dan kebiri kimia yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Dalam persidangan vonis di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (15/2/2021) pekan lalu, Herry Wirawan divonis penjara seumur hidup.
Baca juga: Jaksa Kejati Jabar Ajukan Banding Atas Vonis Penjara Seumur Hidup untuk Herry Wirawan
Usai divonis di penjara, Herry Wirawan kembali menjalani hari demi hari di Rutan Kebonwaru Bandung.
Kepala Rutan Kebonwaru Bandung, Riko Stiven mengatakan, setelah dihukum penjara seumur hidup Herry Wirawan masih bisa senyum meski tidak bisa sembunyikan rasa kesedihannya.
"Pasti lah (sedih), kelihatan.
Tapi berusaha senyum saja," ujar Riko, Senin (21/2/2022).
"Banyak teman-teman sekamarnya yang sering ngajak ngobrol, biar nggak terlalu sedih," sambung dia.
Riko memastikan kondisi Herry Wirawan sehat, selama tinggal di dalam tahanan.
"Ya keadaannya sehat semua," ucapnya.
Jaksa Kejati Jabar mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung atas vonis hakim Yohanes Purnomo Suryo terhadap terdakwa Herry Wirawan.
Memori banding diserahkan jaksa melalui Pengadilan Negeri Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Senin (21/2/2022).
Kasipenkum Kejati Jabar, Dodi Gazali Emil tidak merinci, apa alasan jaksa mengajukan banding.
"Alasan banding nanti kita bisa jelaskan lebih lanjut, tentu JPU yang akan menjelaskan, tapi yang jelas kami sudah mengajukan banding pada hari ini," ujar Dodi, saat ditemui di PN Bandung Jalan LLRE Martadinata, Senin (21/2/2022).
Menurutnya, ada banyak pertimbangan yang akhirnya membuat JPU mengajukan banding.
"Ya, tentunya dari penuntut umum mengharapkan banyak hal yang dipertimbangkan, tapi nanti kami akan berkoordinasi dengan penuntut umumnya alasan banding yang dilakukan pada hari ini," katanya.
Korban Menjerit
Putusan majelis hakim yang meloloskan Herry Wirawan dari hukuman mati membuat hati para korbannya menjerit.
Mereka tak terima orang yang sudah merusak masa depannya masih dibiarkan hidup kendati di penjara.
Sebab, bagi para korban Herry Wirawan, mereka saat in serasa sudah seperti mati karena masa depannya dirusak oleh sang guru bejat.
Jeritan atas vonis seumur hidup Herry Wirawan diutarakan oleh R (29), salah satu keluarga korban yang berasal dari Garut Selatan.
Dia mengatakan sangat kecewa dengan keputusan hakim yang tidak berani memvonis terdakwa dengan hukuman mati.
Menurutnya, keputusan hakim tersebut tidak mewakili perasaan keluarga yang sedari awal sangat berharap terdakwa dihukum mati.
Apalagi, lanjut dia, semua unsur sudah terpenuhi untuk memvonis mati Herry Wirawan.
Selama persidangan berlangsung, Herry Wirawan juga tak satupun menyangkal keterangan para saksi dan korban.
"Kenapa hakim tidak berani, karena unsur-unsur sudah terpenuhi.
Keputusan hakim tidak mewakili perasaan kami, kami saat ini benar-benar sedang berduka," ujarnya seperti dilansir dari Tribunjabar.id, Rabu (16/2/2022).
R menuturkan, putusan tersebut tidak sebanding dengan kondisi korban yang seumur hidupnya akan terus membawa luka dari perbuatan bejat Herry Wirawan.
Dibeberkannya, kondisi korban saat ini seperti sudah mati, masa depannya direnggut oleh gurunya sendiri yang seharusnya melindunginya.
"Udah mati sebelum mati dan bagi keluarga ini adalah sejarah kelam dan tidak akan bisa terhapus sampai kapanpun," ungkapnya.
Kecewa serahkan ke hukum
Vonis yang diberikan majelis hakim membuat keluarga kecewa telah menyerahkan kasus ini ke ranah hukum.
Padahal sedari awal pihak keluarga sudah mendengarkan masukan dari pengacara untuk tidak berbuat anarkis terhadap pelaku.
Termasuk mempercayakan kasus tersebut kepada hukum yang berlaku.
"Namun kepercayaan itu dibalas dengan putusan hakim yang mengecewakan kami, sangat kecewa,"
"Intinya saat ini kami semua sangat berduka, untuk langkah selanjutnya nanti pengacara kami sedang komunikasi, maunya banding harus banding," ujarnya.
R menjelaskan, saat ini dirinya sedang berkumpul dengan semua korban yang sama-sama berasal dari Garut Selatan.
Perkumpulan itu membahas soal putusan hakim yang mengecewakan semua korban.
"Ini saya juga sedang kumpul nih, mohon doanya kepada semuanya, mohon dikawal terus ini kasus supaya keadilan bisa ditegakkan," tuturnya.
Alasan hakim tak berikan hukuman mati
Dalam amar putusannya hakim berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), sesuai dengan pembelaan terdakwa melalui kuasa hukumnya.
"Berdasarkan pembelaan terdakwa, hukuman mati bertentangan dengan HAM. Dan pada pokoknya, terdakwa menyesal atas kesalahan," ujar majelis hakim.
Dalam putusannya, majelis hakim juga menolak mengabulkan tuntutan kebiri kimia, denda Rp 500 juta, serta restitusi atau ganti rugi kepada korban Rp 331 juta.
"Tidak mungkin setelah terpidana mati menjalani eksekusi mati atau menjalani pidana seumur hidup dan terhadap jenazah terpidana dilaksanakan kebiri kimia."
"Lagi pula, Pasal 67 KUHP tidak memungkinkan dilaksanakan pidana lain apabila sudah pidana mati atau seumur hidup," katanya.
Menurut hakim, pasal yang dimaksud tersebut untuk mencegah kesewenang-wenangan dalam penjatuhan tuntutan pidana dan penjatuhan pidana.
"Maka terdakwa dijatuhi hukuman pidana dan dirasa telah meresahkan masyarakat namun bukan berarti terhadap terdakwa dijatuhi tuntutan pidana maupun denda yang semena-mena," ucapnya.
Adapun biaya restitusi untuk para korban pemerkosaan Herry Wirawan dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Majelis hakim berpendapat Herry Wirawan tidak dapat dibebani hukuman membayar restitusi karena divonis hukuman seumur hidup.
"Sehingga total keseluruhan restitusi 12 orang anak korban berjumlah Rp 331.527.186," katanya.
Majelis hakim menyebut undang-undang belum mengatur kepada siapa restitusi bakal dibebankan apabila pelaku berhalangan untuk membayar restitusi tersebut.
Karena itu, hakim menyatakan restitusi sebesar Rp331 juta itu merupakan tugas negara.
Dalam hal ini, hakim menyebut KPPPA memiliki tugas untuk melindungi para anak korban.
"Rp331 juta dibebankan kepada KPPPA. Apabila tidak tersedia anggaran tersebut, akan dianggarkan dalam tahun berikutnya," ucapnya.
Artikel ini disarikan dari TribunJabar.id dengan Topik Guru Rudapaksa Santri