News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Guru Rudapaksa Santri

Ahli Hukum Pidana Tunjukkan Kerancuan Terkait Restitusi pada Putusan Herry Wirawan

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terdakwa kasus rudapaksa 13 santriwati di Kota Bandung, Herry Wirawan saat ikuti sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Bandung di Jalan LLRE Martadinata Kota Bandung, Selasa (11/1/2022).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Pidana Prof Harkristuti Harkrisnowo mengungkapkan kerancauan terkait restitusi dalam putusan terdakwa tindak pidana rudakpaksa terhadap 13 santriwati, Herry Wirawan.

Ia menjelaskan restitusi adalah suatu program yang ditujukan untuk membuat korban pulih sejauh mungkin.

Namun demikian, menurut dia, restitusi bukanlah hukuman atau alternatif pidana penjara atau denda.

Restitusi, kata Tuti, dan tidak bisa menggantikan pidana-pidana lain.

Ahli Hukum Pidana Prof Harkristuti Harkrisnowo dalam acara bertajuk Restitusi VS Kompensasi Bagi Korban Kekerasan Seksual yang digelar LPSK secara daring dan luring pada Rabu (23/2/2022).

Restitusi adalah utang dari si pelaku kejahatan kepada korban yang telah menderita akibat perbuatan yang telah dilakukannya.

Untuk itu menurutnya ada kerancuan dalam putusan yang djatuhkan kepada Herry karena restitusi dibebankan kepada negara dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Dalam konteks tersebut, restitusi dal putusan hakim lebih bermakna sebagai kompensasi.

"Jadi kayaknya ada sedikit kerancuan dalam menggunakan istilah," kata Tuti dalam acara bertajuk Restitusi VS Kompensasi Bagi Korban Kekerasan Seksual yang digelar LPSK secara daring dan luring pada Rabu (23/2/2022).

Akan tetapi, lanjut dia, masih ada persoalan lain karena berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, pemberian kompensasi dibatasi hanya pada korban pelanggaran HAM berat dan terorisme.

Hal tersebut, lanjut dia, sudah dirumuskan dalam pasal 7 Undang-Undang 31 tahun 2014.

Namun demikian, kata dia, untuk korban tindak pidana kekerasan seksual memang diberikan hak untuk mengajukan restitusi.

Hal tersebut, lanjut dia, diatur dalam pasal 7A Undang-Undang 31 tahun 2014 dan diperkuat juga dengan pasal 59 ayat 2J dan juga pasal 71D dari Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang 23/2002 tentang perlindungan anak.

"Jadi mungkin di sini perlu ada perbaikan diktum atau bagaimana saya tidak tahu. Jadi (kerancuan) yang pertama penggunaan istilah," kata dia.

Kerancuan kedua, lanjut dia, terjadi karena pengadilan membebankan pembayar restitusi kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak karena lembaga tersebut dianggap mewakili negara untuk melindungi anak.

Akan tetapi Undang-Undang nomor 31 tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban sudah menentukan bahwa lembaga yang diberi mandat untuk mengurusi korban dan saksi termasuk mengajukan restitusi dan atau kompensasi kepada yang diajukan adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Dalam putusan tersebut, lanjut dia, besaran angka restitusi dihitung oleh LPSK.

"Oleh karenanya restitusi dimintakan oleh korban kepada pengadilan melalui LPSK. Jadi di sini kita melihat ada beberapa kerancuan yang perlu diperhatikan," kata dia.

Ia mengaku senang karena pengadilan telah berorientasi pada kepentingan korban.

Namun demikian, kata dia, tidak seyogyanya kepentingan korban dijadikan alasan untuk melanggar ketentuan-ketentuan yang sudah ada.

Terkait hal tersebut menurutnya perlu dipikirkan bersama mengenai ketentuan lebih lanjut restitusi atau kompensasi pada korban atau kompensasi atau meminjam konsep dari negara lain yang sudah memilikinya.

"Tentu perlu dipikirkan mekanismenya dan bagaimana sumber keuangannya. Dan persyaratan yang sangat tepat mengenai siapa yang bisa memperoleh restitusi dan kompensasi," kata dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini