News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Presidential Threshold

Dissenting Opinion Hakim MK Soal PT 20 Persen: Mengapa Dipertahankan Jika Menyimpang dari Logika?

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) bersama hakim MK I Dewa Gede Palguna (kiri) dan Saldi Isra mendengarkan keterangan kuasa hukum pemohon uji materi UU MD3 pada sidang panel pendahuluan di gedung MK, Jakarta, Kamis (8/3). Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan dua perserorangan warga negara Indonesia menggugat ketentuan dalam Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pras/18.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra dan Suhartoyo menyampaikan Dissenting Opinion atau pendapat berbeda dalam putusan perkara nomor 66/PUU-XIX/2021 terkait gugatan presidential threshold dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Kamis (24/2/2022).

Permohonan yang diajukan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono, diputus tak diterima karena tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara dimaksud.

Namun hakim konstitusi Saldi Isra dan Suhartoyo memiliki dissenting opinion atau pendapat berbeda.

Pemohon dipandang harusnya dinilai punya kedudukan hukum lantaran telah menjelaskan kualifikasi dan persyaratan kerugian konstitusional yang selama ini dijadikan parameter pengajuan perkara konstitusionalitas.

Terhadap pokok perkara yang diajukan, Saldi Isra dan Suhartoyo mengatakan mempertahankan ambang batas dalam proses pengisian jabatan eksekutif jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.

Baca juga: MK Tolak Gugatan PT 20 Persen dari Waketum Gerindra, Ini Alasannya

"Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia," kata Suhartoyo dan Saldi Isra dalam dissenting opinionnya.

"Pertanyaan elementer yang niscaya diajukan: mengapa ambang batas pengajuan calon presiden dan wakil presiden dipertahankan ketika keberadaannya menyimpang dari logika sistem presidensial?," lanjutnya.

Saldi Isra dan Suhartoyo menyatakan bahkan studi komparasi menunjukkan misalnya Amerika Serikat negara yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden dan wakil presiden.

Baca juga: Gugatan Ambang Batas Pencalonan Presiden Ditolak MK, Gatot Nurmantyo Langsung Diajak Gabung PKB

Logika lain yang selalu dikembangkan ambang batas pengajuan calon presiden dan wakil presiden diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintah dalam membangun hubungan dengan lembaga legislatif.

"Bilamana pembentuk undang - undang membelokkan atau menggeser teks konstitusi adalah menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk meluruskan dan sekaligus mengembalikannya kepada teks konstitusi sebagaimana mestinya. Dengan demikian, sulit diterima penalaran yang wajar apabila Mahkamah justru membiarkan adanya kebijakan pembelokan norma konstitusi dengan dalil open legal policy pembentuk undang - undang," terangnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini