Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra angkat bicara terkait usulan penundaan Pemilu 2024 yang dikemukakan oleh sejumlah Ketua Umum Partai Politik.
Sebelumnya Tiga Ketua Umum Partai Politik yakni Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar) dan Zulkifli Hasan (PAN) mengemukakan usulan agar Pemilu 2024 yang jadwalnya telah disepakati Pemerintah, DPR, KPU yakni dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024, ditunda.
Yusril mengatakan usulan penundaan Pemilu berkaitan langsung dengan norma konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 45.
Pertama, Pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2).
Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu itu untuk memilih anggota DPR dan DPD untuk membentuk MPR (Pasal 2 ayat 1).
"Secara spesifik Pasal 22E UUD 45 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali," katanya dalam keterangan tertulis, Minggu, (27/2/2022).
Baca juga: Yusril Sebut Hanya Ada Tiga Cara yang Bisa Menunda Pemilu 2024, Apa Saja?
Aturan-aturan tersebut kata Yusril berkaitan erat dengan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.
Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya.
Oleh karena itu, apabila Pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, jabatan yang diduduki penyelenggara negara tidak memiliki dasar hukum sama sekali.
"Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya “ilegal” alias “tidak sah” atau “tidak legitimate”," tutur Yusril.
Apabila para penyelenggara negara semuanya ilegal, maka kata Yusril, tidak ada kewajiban apapun bagi rakyat untuk mematuhi mereka.
Rakyat akan jalan sendiri-sendiri menurut maunya sendiri.
Rakyat berhak untuk membangkang kepada Presiden, Wakil Presiden, para menteri, membangkang kepada DPR, DPD dan juga kepada MPR.
"Rakyat berhak menolak keputusan apapun yang mereka buat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal," tambahnya.
Yusril mengatakan penyelenggara negara (eksekutif) yang masih legal di tingkat pusat, tinggal lah Panglima TNI dan Kapolri.
Pasalnya kedua penyelenggara negara ini hanya dapat diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan DPR.
"Apabila Presiden dan DPR saja sudah tidak sah dan ilegal, maka bagaimana cara mengganti Panglima TNI dan Kapolri," katanya.
Yusril mengatakan TNI dan POLRI sekarang ini bukan lagi ABRI zaman dulu yang berada dibawah satu komando, Panglima ABRI.
TNI dan POLRI sekarang terpisah dengan tugas masing-masing, dan punya komando sendiri-sendiri yang masing-masing bertanggung jawab secara terpisah kepada Presiden.
Jika Presidennya sendiri sudah ilegal dan tidak sah, Panglima TNI dan Kapolri bisa pula membangkang kepada perintah Presiden yang ilegal itu.
"Beruntung bangsa ini kalau Panglima TNI dan Kapolri kompak sama-sama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa pada saat yang sulit dan kritis. Tetapi kalau tidak kompak, bagaimana dan apa yang akan terjadi? Bisa saja terjadi dengan dalih untuk menyelamatkan bangsa dan negara, TNI mengambil alih kekuasaan walau untuk sementara," katanya.
Baca juga: Yusril Pertanyakan Dasar Konstitusional Usulan Penundaan Pemilu 2024
Sementara itu, di daerah, gubernur, bupati dan walikota masih sah menjalankan roda pemerintahan kalau masa jabatannya belum habis, tetapi tanpa kontrol DPRD dan juga tanpa pertanggungjawaban kepada Presiden sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Pasalnya DPRD dan Presidennya sudah ilegal.
Oleh karena itu kata Yusril keadaan bangsa dan negara akan benar-benar carut marut akibat penundaan Pemilu.
"Dalam suasana carut marut, timbullah anarki. Dalam anarki setiap orang, setiap kelompok merasa merdeka berbuat apa saja. Situasi anarki akan mendorong munculnya seorang diktator untuk menyelamatkan negara dengan tangan besi. Diktator akan mendorong konflik makin meluas."
"Daerah-daerah potensial bergolak. Campur-tangan kepentingan-kepentingan asing untuk adu domba dan pecah belah tak terhindarkan lagi. NKRI “harga mati” berada dalam pertaruhan besar," tuturnya.
Yusril menegaskan persoalan penundaan Pemilu yang berimplikasi kepada legalitas dan legitimasi kekuasaan ini tidak bisa diselesaikan dengan usulan-usulan Ketua-Ketua Umum Parpol yang sarat dengan kepentingan politik.
Meskipun usul itu kemudian disepakati oleh semua partai yang punya wakil di DPR, DPRD dan MPR, tetapi kesepakatan itu bukanlah kesepakatan lembaga-lembaga negara yang resmi dan legitimate untuk mengambil keputusan menurut UUD 45.
Menurutnya, penundaan Pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara, yakni: (1) Amandemen UUD 45; (2) Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan (3) Menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.
"Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku," ujar Yusril.