Laporan Wartawan Tribunnews.com Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mungkin sebagian orang tidak umum mendengar istilah femisida. Kata ini pertama kali digunakan oleh Diana Russel pada International Tribunal on Crimes Against Women (1976).
Diartikan sebagai “pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki”. PBB mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena ia perempuan.
Jenisnya pun berbagai macam. Seperti pembunuhan terhadap pasangan, pembunuhan terhadap perempuan dengan tuduhan tukang sihir, pembunuhan dalam konflik bersenjata, mahar dan sebagainya.
Terdengar menakutkan, nyatanya di Indonesia ada kasus femisida.
Hal ini dipaparkan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi dalam acara peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan.
Menurut hasil pemantauan Komnas Perempuan, sepanjang 2021 telah mencatat 237 kasus femisida yang teridentifikasi media massa secara daring. Femisida intim menjadi kasus terbanyak.
"Relasi pelaku dengan perempuan korban yang terbanyak adalah suami yaitu 34 orang orang, pacar sebanyak 21 orang, tetangga ada 18 orang," ungkapnya secara virtual, Senin (7/3/2022).
Selain itu ada pula temuan korban lain yaitu selingkuhan, serta perempuan yang dilacurkan sebanyak 5 orang.
Motif terjadinya femisida menurut pemaparan Komnas Perempuan adalah adanya dendam atau sakit hati sebanyak 30,4 persen. Selain itu pemerkosaan sebanyak 14,9 persen, cemburu 14,3 persen dan pencurian 12,5 persen.
"Juga terdapat motif lain yaitu kehamilan yang tidak dikehendaki, menolak hubungan seksual, didesak menikah, cinta ditolak, menolak rujuk. Dan sebelum pembunuhan dilakukan, terjadi kekerasan berlapis pada perempuan," pungkas Siti.