Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah warga Bandung ikut melayangkan gugatan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka menyoroti minimnya pasangan calon presiden akibat ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.
Perkara nomor 13/PUU-XX/2022 ini dilayangkan Neneng Khodijah, Endang Wuryaningsih, Syafril Sjofyan, Tito Roesbandi, Ida Farida, dan Lukman Nulhakim.
"Kami warga biasa dari Bandung, bukan pengurus atau anggota partai, bersepakat untuk bersama melakukan gugatan," kata seorang Pemohon, Syafril Sjofyan di persidangan, Senin (7/3/2022).
Pemohon mendasari gugatan UU Pemilu karena berangkat dari rasa kekecewaan mereka atas pelaksanaan Pemilu 2019 kemarin.
Alasannya saat itu dimunculkan kembali dua pasang calon presiden dan wakil presiden yang sama seperti Pilpres 2014.
Baca juga: HNW Ingatkan Jokowi Untuk Menolak Tegas Wacana Penundaan Pemilu
Kedua calon presiden itu adalah Joko Widodo selaku petahana dan Prabowo Subianto.
Pemohon atas nama Syafril Sjofyan mengaku heran mengapa dari 260 juta penduduk Indonesia, hanya dua sosok tersebut yang lagi-lagi didorong maju pencalonan presiden.
"Padahal banyak sekali pemimpin yang lebih berkualitas yang mampu memimpin bangsa," ucapnya.
Selain itu, ia menyebut bahwa usai Pilpres 2014 dan 2019, terjadi pembelahan masyarakat yang amat dirasakan.
Keterbelahan itu terjadi baik di pertemanan, lingkup antar pengusaha, hingga internal keluarga.
Baca juga: Mahfud MD Beberkan Sikap Jokowi Tanggapi Isu Masa Jabatan 3 Periode dan Penundaan Pemilu
"Sepanjang tahun 2014 sampai Pilpres 2019 telah terjadi keterbelahan masyarakat sehingga berakibat pada pergaulan, persaudaraan dan persahabatan," katanya.
Berkenaan dengan itu, Pemohon meminta MK mengabulkan seluruh permohonan Pemohon.
Yakni menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat.