TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buka suara atas pelaporan yang dilayangkan alumni Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi (AJLK) 2020 terhadap sang Ketua Firli Bahuri terkait mars dan hymne KPK.
Laporan yang dilayangkan AJLK 2020 diketahui berangkat dari peristiwa pemberian penghargaan kepada Ardina Safitri sebagai pencipta mars dan himne KPK.
Ardina Safitri adalah istri dari Firli Bahuri.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya proses pemeriksaan tersebut kepada Dewan Pengawas sesuai tugas dan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 37B UU KPK.
"Sehingga mari kita hormati proses yang sedang berlangsung tersebut dengan tidak mendahului untuk menyimpulkan secara dini, terlebih hanya berdasar asumsi ataupun opini," kata Ali dalam keterangannya, Rabu (9/3/2022).
Ali mengatakan bahwa mars dan himne KPK dihibahkan oleh Ardina Safitri kepada KPK, bukan kepada perseorangan di KPK.
"Hibah tersebut juga gratis, tidak ada pembayaran atau penggantian biaya penciptaan lagu yang harus dibayarkan KPK kepada penciptanya," katanya.
KPK, kata Ali, melalui Biro Hukum dan Inspektorat juga telah melakukan validasi dan pemeriksaan, di antaranya kepada pihak pencipta lagu, untuk memastikan bahwa proses tersebut sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku.
Baca juga: Firli Bahuri Diduga Langgar Etik Terkait Mars dan Himne KPK, Dewas Didesak Jatuhkan Sanksi Berat
Selanjutnya, sebagai perlindungan karya, kedua lagu ini telah disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan diserahkan kepada KPK sebagai pemilik hak ciptanya.
"Lagu Mars & Hymne kini telah dimanfaatkan dan diperdengarkan pada setiap acara resmi kelembagaan KPK. Dengan harapan, nilai-nilai luhur dalam lagu tersebut menjiwai semangat kerja pemberantasan korupsi setiap Insan KPK," kata Ali.
Sebelumnya, Korneles Materay selaku pelapor mengatakan bahwa penunjukkan dan pemberian penghargaan kepada Ardina Safitri sebagai pencipta mars dan himne KPK, terdapat dua permasalahan yang penting untuk diuraikan lebih lanjut.
Pertama, peristiwa itu jelas menggambarkan benturan konflik kepentingan.
Dia mengatakan, benturan konflik kepentingan ini disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 (PerKom 5/19) tentang Pengelolaan Benturan Kepentingan di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dua regulasi itu pada dasarnya menjelaskan bahwa konflik kepentingan terjadi saat keputusan yang diambil oleh seorang pejabat publik berkaitan erat dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Sehingga berpengaruh terhadap netralitas keputusan tersebut.
Menurut Korneles, penjelasan tersebut membuat pelanggaran yang dilakukan Firli semakin terang. Sebab, pihak yang ditunjuk dan diberikan penghargaan merupakan istrinya sendiri.
Kedua, diduga Firli tidak mendeklarasikan konflik kepentingan dalam pembuatan hymne KPK tersebut.
Korneles menerangkan, deklarasi tersebut diatur dalam PerKom 5/19 yang isinya mewajibkan setiap Insan KPK untuk memberitahukan kepada atasannya.
Dalam konteks ini, dia menilai seharusnya Firli mendeklarasikannya kepada komisioner lain dan Dewan Pengawas. Peristiwa ini juga menggambarkan ketiadaan mekanisme check and balance di internal KPK.
“Kami juga mengkhawatirkan adanya dominasi peran Firli dalam pengambilan kebijakan lembaga, yang membuat seolah menghapus prinsip kolektif kolegial dari sisi kepemimpinan di KPK,” kata Korneles, salah satu alumni AJLK 2020 di Kantor Dewas KPK, Jakarta Selatan, Rabu (9/3/2022).
Laporan etik yang disampaikan alumni AJLK 2020 juga mempersoalkan pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Alex menyebutkan mars dan himne KPK merupakan hibah dari Ardina Safitri.
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah menyebutkan bahwa penerimaan Hibah harus memenuhi sejumlah prinsip, salah satunya kehati-hatian.
Korneles berpandangan bahwa pemberian hibah dari istri dari Ketua KPK, seharusnya dapat dihindari karena adanya benturan kepentingan dengan pengambil kebijakan.
Berdasarkan rangkaian kejanggalan tersebut, patut diduga tindakan Firli melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 6 ayat (2) huruf a, Pasal 7 ayat (2) huruf a, dan Pasal 8 ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020.
Maka dari itu, AJLK 2020 mendesak agar Dewan Pengawas segera memanggil, memeriksa, dan menjatuhkan sanksi kepada Firli.
Penting untuk ditekankan, kata Korneles, oleh karena konflik kepentingan ini merupakan pemahaman dasar yang harus dihindari oleh setiap pejabat publik, terlebih Ketua KPK.
“Kami mendesak Dewan Pengawas menjatuhkan sanksi berat kepada Firli. Selain itu, desakan ini diperkuat dengan kondisi Firli yang telah dua kali melanggar kode etik. Jadi, jika ini terbukti, maka Firli telah melakukan pengulangan dan layak untuk diminta mengundurkan diri oleh Dewan Pengawas,” kata Korneles.
Alumni AJLK 2020 adalah para peserta Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi yang merupakan program milik Komisi Pemberantasan Korupsi. Saat mengikuti AJLK2020, para peserta menerima 40 jam materi yang sangat lengkap tentang antikorupsi.
“Sebagai Alumni AJLK, Kami merasa punya kewajiban menjaga KPK dari pelemahan dan penghancuran yang saat ini datangnya justru dari dalam,” kata Korneles.