TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belakangan ini muncul indikasi maraknya radikalisme yang menyusup ke kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Hal tersebut di antaranya dapat dinilai dari pernyataan Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan yang menyatakan jumlah tersangka dan narapidana terorisme berlatar belakang PNS berjumlah 15 orang per 15 Maret 2022.
Menanggapi indikasi maraknya radikalisme menyusup ke kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tersebut, Pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib menjelaskan ada dua kelompok teror di Indonesia yang masih aktif.
Keduanya yaitu Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi ke ISIS dan Jamaah Islamiah (JI) yang berafiliasi ke Al Qaeda.
Keduanya, kata dia, sama sama berupaya merekrut kader baru dari berbagai kalangan.
Bedanya, lanjut dia, jika anggota baru bergabung JAD dia pasti melepaskan titel profesinya secara penuh karena bagi ISIS haram menerima uang dari negara.
Namun demikian, tidak bagi JI.
Baca juga: Bertemu Pengurus FRPKB, KSAD Jenderal Dudung Ungkap Keprihatinan Atas Maraknya Radikalisme di Kampus
Mereka, kata dia, justru membolehkan anggotanya berprofesi apa saja termasuk menjadi PNS.
Ia memandang maraknya fenomena tersebut di antaranya disebabkan perekrutan teror berhasil karena organisasi teror sangat agresif dan militan dalam merekrut anggota baru.
Sementara itu, lanjut dia, upaya pembentengan ideologis oleh pemerintah kalah agresif dengan upaya perekrutan teror.
"Perlu ada tes wawancara mental ideologis seperti di era Soeharto pada saat rekruitmen CPNS dan juga pada saat akan naik pangkat/ jabatan," kata Ridlwan saat dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (18/3/2022).
Selain itu, kata dia, dal konteks tes tersebut pewawancara juga harus dibekali pemahaman lengkap tentang ideologi yang berbahaya bagi Pancasila.
"Pewawancara harus dibekali pemahaman yang lengkap tentang ideologi yang berbahaya bagi Pancasila," lanjut dia.