Laporan Wartawan Tribunnews.com Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menyambut masukan positif dari Komisi Nasional Anti Kekerasan (Komnas Perempuan) terkait memperkuat jaminan hak dan perlindungan hukum terkait perempuan dengan hukum.
Termasuk dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Aceh.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin,SH.,MH, dalam dialog bersama Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan pun resmi dipertimbangkan sebagai sahabat pengadilan (Amicus Curiae) atas permohonan peninjauan kembali pada Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Di sisi lain konteks penyelenggaraan otonomi khusus Aceh, Komnas Perempuan menyampaikan bahwa dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat terdapat beberapa lapisan masalah yang penting untuk disikapi oleh Mahkamah Agung.
Hal ini karena berhubungan erat dengan akses keadilan hukum. Terutama pada perlindungan perempuan korban seksual dan perkosaan.
Baca juga: Amnesty: TPLF Balas Serangan Etiopia Dengan Pemerkosaan dan Penjarahan
Kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa di aspek substansi, pengaturan tentang perkosaan keseimbangan dengan tindak zina tanpa mempertimbangkan kerentanan perempuan korban.
Hal ini antara lain ditunjukkan dengan pengaturan tentang sumpah maupun bentuk pemidanaan terhadap pelaku. Pengaturan serupa membuat perempuan korban perkosaan rentan diabaikan atas alasan tidak cukup bukti.
Komnas Perempuan juga melihat adanya dikriminalisasi dengan delik zina ketika dianggap sebagai tindakan sukarela. Pemidanaan yang kerap dilakukan para pelaku perkosaan dan seksual adalah cambuk.
Ini juga dapat memunculkan risiko keselamatan jiwa korban dari tindak balas dendam pelaku yang bisa segera kembali ke masyarakat pasca eksekusi.
Risiko ini dihadapi baik oleh korban jiwa maupun perempuan dewasa.
Dengan pertimbangan ini, berdasarkan Surat Edaran MA No. 3/SEMA 10/2020, hukuman bagi pelaku seksual dan perkosaan terhadap anak adalah pidana penjara.
Namun, pengaturan ini tidak berlaku untuk kasus-kasus korban perempuan di atas usia 18 tahun. Persoalan lain adalah, penguasaan agama pada hukum pidana dan pemeriksaan tindak pidana juga lemah.
Kondisi ini merugikan perempuan yang berhadapan dengan hukum. Sepanjang tahun 2021 Komnas Perempuan memberikan perhatian khusus pada perlindungan perempuan di Aceh sejak 1998.
Komnas Perempuan telah mempertimbangkannya pada pengaturan tentang perkosaan dan seksualitas sejak perumusan rancangan Qanun Jinayat.
Juga, terus memberikan masukan untuk pertimbangan revisi kepada pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
"Komnas Perempuan meminta Mahkamah Agung untuk melakukan langkah-langkah strategi dalam mengatasi hambatan perempuan pada akses keadilan hukum di Aceh," ungkap ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan resmi, Jumat (25/3/2022).
Baca juga: Oknum PNS di Lampung Aniaya Lakukan KDRT Selama 2 Tahun, Kekerasan Dipicu Kasus Sepele
Karenanya, menggunakan peluang revisi Qanun Jinayat yang kini di tengah bergulir di Aceh, Komnas Perempuan memberikan beberapa pertimbangan.
Pertama, meninjau kembali Pasal 72 Qanun Jinayat yang menjadi dasar mengecualikan pelindungan hukum nasional bagi korban perkosaan dan saksikan seksual/pencabulan.
Kedua, memastikan pidana cambuk digunakan dalam tindak perkosaan dan ketertarikan seksual.
Ketiga, memastikan pemulihan pemulihan korban. Juga, memberikan perhatian pada peningkatan kapasitas hakim dan pengawasan pelaksanaan Peraturan MA No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Usulan lain yang disampaikan Komnas Perempuan kepada MA adalah perbaikan persidangan Peninjauan Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang di Mahkamah Agung.
"Agar menjadi lebih transparan, partisipatif dan akuntabel. Kejelasan waktu dan akses untuk menyampaikan pendapat atau menjadi aspek penting dalam perbaikan ini," kata Andy lagi.
Pertimbangan dari berbagai pihak akan mendukung hakim untuk melakukan penelitian secara mendalam terhadap isu-isu yang diujikan.
Pertemuan tersebut nyatanya mendapatkan tanggapan positif dari Mahkamah Agung yang akan melaporkan laporan-laporan tersebut sehingga akses perempuan terhadap perlindungan dapat diwujudkan.
Mahkamah Agung sesuai dengan tugas dan kewenangannya akan mendalami masalah yang akan disampaikan. Sehingga ada langkah lanjutan yang perlu dilakukan ke depan.